Dewan Kesenian Tanpa Kebaruan

Dewan Kesenian Tanpa Kebaruan

ILUSTRASI Dewan Kesenian Tanpa Kebaruan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

ADA yang ganjil, tapi terus diulang dalam setiap musyawarah daerah Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT). Yakni, kegigihan sebagian pihak untuk mempertahankan nama ”Kesenian” sambil secara sadar menolak wacana perubahan nomenklatur menjadi dewan kebudayaan

Wacana itu tidak datang begitu saja. Ia muncul dari kesadaran akan perkembangan regulasi nasional yang sudah jauh bergerak lebih progresif. Tapi, seperti biasa, perubahan dipersepsikan sebagai ancaman, bukan kesempatan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan tidak lagi menempatkan kesenian sebagai poros tunggal. 

BACA JUGA:Musda VI Dewan Kesenian Jawa Timur, Diharapkan menjadi Titik Balik Baru untuk Masa Depan Kebudayaan Jawa Timur

BACA JUGA:Wakil Ketua DPRD Surabaya Minta Komisi D Tengahi Dualisme Dewan Kesenian

Ia hanya satu di antara sepuluh objek pemajuan kebudayaan, sejajar dengan tradisi lisan, manuskrip, permainan rakyat, pengetahuan tradisional, bahasa, teknologi tradisional, ritus, adat istiadat, dan olahraga tradisional. 

Artinya, masih ada sembilan dunia lain yang seharusnya disentuh organisasi kebudayaan daerah jika memang ingin relevan dan sesuai zaman.

Sayangnya, yang terjadi dalam forum DKJT justru sebaliknya. Perubahan itu tidak hanya ditolak, bahkan tidak diberi ruang untuk dibahas lebih serius. Wacana perubahan nama justru memicu kecurigaan, bisik-bisik antarkubu, dan ketegangan yang berujung pada manuver politik di balik panggung. 

Masing-masing sudah memegang ”kartu truf”, punya jalur ke instansi tertentu, dan tak sedikit yang berharap agar pemerintah turun tangan demi menyelamatkan skenario kelompoknya sendiri.

Dalam suasana seperti itu, nama dan posisi bukan lagi sekadar representasi fungsi, melainkan alat distribusi pengaruh. Padahal, jika ditarik ke dasarnya, menjadi seniman yang baik sekalipun belum tentu membuat seseorang paham bagaimana menjadi organisatoris yang baik. 

Membuat pertunjukan sukses tidak berarti memahami bagaimana organisasi dirancang untuk menjawab kebutuhan publik, menjembatani regulasi, dan membangun ekosistem yang berkelanjutan. 

Banyak yang mengira organisasi hanyalah panggung kedua setelah panggung kesenian, padahal keduanya membutuhkan kompetensi dan etika yang berbeda.

Yang sedang dibutuhkan DKJT saat ini bukanlah keuletan mempertahankan nama, melainkan kesadaran bahwa struktur organisasi mesti sejalan dengan mandat zaman. Dan, jika kesadaran itu terus dibungkam, kita hanya akan melanjutkan satu siklus lama: mempertahankan bentuk sambil kehilangan arah.

MENJELMA MENJADI ORGANISASI YANG ANTI-INTELEKTUAL

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: