Dewan Kesenian Tanpa Kebaruan

Dewan Kesenian Tanpa Kebaruan

ILUSTRASI Dewan Kesenian Tanpa Kebaruan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Menjadikan seni seperti musik, tari, teater, sastra, rupa, dan film sebagai tulang punggung kelembagaan memang historis, tapi jika terus dijadikan patokan tunggal hari ini, itu namanya menyederhanakan kebudayaan secara sempit. 

Kesenian hanyalah satu di antara sepuluh objek pemajuan kebudayaan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017. Masih ada sembilan objek lain yang nyaris tak pernah dibahas di forum-forum dewan kesenian, apalagi disentuh secara strategis.

Padahal, sejak tahun 2018, pemerintah pusat mendorong pendekatan ekosistem kebudayaan: mulai pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, hingga pembinaan. 

Artinya, seni bukan hanya soal pentas, bukan hanya soal panggung. Ia adalah infrastruktur makna yang membentang dari komunitas hingga kebijakan publik.

Namun, di DKJT, semangat itu seperti tak terdengar. Diskusi lebih banyak berputar pada siapa dapat posisi apa, bukan bagaimana menyusun strategi jangka panjang. Pola pikir organisasi masih tersandera oleh logika hibah tahunan. 

Yang penting punya program meski tak nyambung dengan yang kemarin. Yang penting punya kegiatan meski dampaknya tak pernah dievaluasi. Itu bukan stagnasi, melainkan regresi dengan jubah rutinitas.

Lebih menyedihkan lagi, ada kecenderungan anti-intelektual yang makin terasa. Akademisi dicurigai membawa teori, bukan solusi. Kajian dianggap menunda aksi. Gagasan dipandang terlalu abstrak. 

Padahal, tanpa teori, justru kerja kebudayaan rawan diseret oleh intuisi pribadi dan selera elite semata. Tanpa refleksi, organisasi budaya hanya akan jadi panggung ”dewa mabuk” yang tampak sibuk, tapi tak tahu arah.

Nasib departemen penelitian dan pengembangan (litbang) pun tak lebih dari pelengkap struktur. Kajian-kajian yang disusun tidak menjadi rujukan kebijakan internal. Tidak ada kesinambungan dari tahun ke tahun. 

Setiap periode seolah dimulai dari nol hanya karena alasan pertanggungjawaban administratif. Program harus beda, bukan karena hasil evaluasi, mlainkan karena SOP-nya begitu. 

Logika pertanggungjawaban mengalahkan logika pembangunan. Inovasi dikalahkan kewajiban mengisi format baru.

Akibatnya, tidak ada narasi jangka panjang, tidak ada konsistensi agenda terhadap masa depan pemajuan kebudayaan di Jawa Timur. 

Organisasi berjalan seperti panitia kegiatan, bukan institusi budaya yang berpikir lintas generasi. Dan, ketika kebudayaan diperlakukan seperti kita memosisikan diri sebagai event organizer, jangan heran jika yang dirawat bukan nilai, melainkan daftar tamu dan spanduk.

ORANG-ORANG LAMA, JALAN YANG ITU JUGA

Sudah jadi rahasia umum, dinamika internal DKJT cenderung didominasi wajah-wajah lama yang terus berputar di posisi strategis. Komposisi personalia nyaris tidak berubah, bahkan ada yang menyamar sebagai utusan daerah hanya demi bisa kembali mencalonkan diri sebagai presidium. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: