BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (12): Ramadan dan Ingatan Nareswari
Bukankah komunisme tidak mengimani Tuhan, dan dapat dikatakan anti Tuhan. Ateis adalah produk dari pengingkaran pada Tuhan dan “pengamalan” faham komunisme?
Bukankah dalam bahasa agama, konten Nasakom itu “saling mengingkari”: agama mengajarkan iman dan komunisme mendepak kepercayaan kepada-Nya? Tidakkah tindakan “menasakomkan” negara merupakan cerminan “pengingkaran” terhadap dasar negara yang berketuhanan?
Siapa yang tidak kaget dengan ungkapan itu yang fenomenal dalam lingkup bernegara. manusia bebas memang “dipersilahkan mengabaikan Tuhan” dan berteriak sebagai ateis, dan berbangga sebagai generasi ateis.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (11): Puasa Itu Asyik Aja
Komunisme yang tidak mempercayai Tuhan jelas akan “kembang sentul”, satu ngalor, satu ngidul. Mempelajari paham apapun secara akademik diperbolehkan, tetapi dikala bersentuhan dengan status manusia bebas yang beropsi sebagai WNI, maka ateisme dan komunisme tidak diperkenankan “diimani”, karena menyimpang dari ajaran Pancasila.
Apabila hal tersebut memasuki ranah hukum berarti bertentangan dengan Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Ketetapan ini dikuatkan kembali oleh Ketetapan MPR RI No. I/MPR/2003. Tap MPR ini sering dikaitkan dengan yang nomor XXXIII/MPRS/1967. Padahal beda.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (10): Ramadan dan Daun Sang Mahacinta
Bacalah Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan MPR RI No. I/MPR/2003. tersebut dengan ketenangan jiwa walaupun sambil mendengar perenungan “celoteh” anak-anak “ingusan” yang lagi seru berdiskusi usai tadarusan Ramadan.
Seloroh mereka menggugah dalam menyikapi posisi pihak-pihak yang dalam bernegara dapat “bersenggama” dengan pengabaian Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu sekadar contoh yang dinarasikan dalam bentara “sawah ladang keilmuan” ala anak jalanan.
WNI yang tidak berperilaku mempercayai Tuhan Yang Maha Esa dianggap “ingkar” dalam bernegara. Dia keluar dari “kondrat” ideologis yang memformulasikan nilai-nilai dasar Pancasila. Pancasila Sakti, karena memang tangguh dalam mengahadapi rong-rongan terhadapnya, termasuk rong-rongan melalui “doktrin nasakom”.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (9): Menghindari Talbis Iblis
Ungkapan peserta “akademia desa” itu benar-benar memberi warna baru bagi kalangan kampus seperti saya. Menyimpangi ideologi Pancasila dengan mencatat adanya WNI ateis, WNI yang mendeklarasikan sebagai penganut komunisme, adalah sesuatu yang “memunggungi” dasar negara.
Apabila ada pihak yang mengingkari Ketuhanan Yang Maha Esa dengan meyakini Komunis, berarti ada “sinopsis” dalam religi yang dikualifikasi murtad.
Tetapi kalau mereka “berselingkuh” dengan meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa berbarengan dengan Komunisme sebagai “tauhidnya”, tentu bukan murtad tetapi “syirik” yang berlabirin “musyrik”: dua “Tuhan” dihadirkan dalam satu jiwa iman.