Dedolarisasi, Strategi LCS Melawan Hegemoni America First ala Trump

Selasa 17-12-2024,10:56 WIB
Oleh: Sukarijanto*

Dorongan penggunaan mata uang lokal itu mengikuti Inisiatif Pembayaran Lintas Batas BRICS (BCBPI) yang bertujuan mempermudah pembayaran dan meminimalkan hambatan perdagangan di antara negara-negara anggota, sekaligus berangsur-angsur meninggalkan instrumen pembayaran SWIFT yang merupakan jaringan keuangan internasional yang banyak dianut negara Barat.

Rusia dan Tiongkok serta mayoritas anggota kaukus BRICS menyadari bahwa mereka masih memiliki ketergantungan tinggi atas penggunaan mata uang dolar AS. 

Kuatnya dominasi dolar AS sebagai mata uang utama dalam transaksi dagang tidak lepas dari aspek historis yang mana pada 1944 Perjanjian Bretton Woods diratifikasi. 

Perjanjian itu muncul sebagai respons terhadap gejolak pasca-Perang Dunia II yang kala itu terjadi inflasi besar-besaran yang melanda benua Eropa yang mengakibatkan sistem standar emas tidak dapat digunakan lagi. 

Perjanjian itu menjadikan dolar AS dipegang teguh oleh standar emas dan negara-negara lain menetapkan nilai mata uang mereka terhadap dolar. 

Perjanjian tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan sistem yang menjadikan dolar sebagai standar dan nilai mata uang lainnya bergantung kepada nilai dolar AS. 

Dengan seiring berjalannya waktu, kekuatan ekonomi AS menjadikan salah satu faktor kunci mempertahankan dominasi dolar selain sangat likuid dan mudah diterima di seluruh dunia.

Kini, dengan hasil Deklarasi Kazan yang menghasilkan inisiatif penggunaan LCS dalam setiap transaksi dagang antaranggota BRICS, secara pelan tapi pasti, akan mengurangi ketergantungan tinggi terhadap permintaan dolar AS. 

Terdapat sejumlah alasan mengapa penggunaan LCS mendapat sambutan antusias. 

Pertama, penggunaan mata uang regional dalam jumlah besar dalam perdagangan dan investasi berpotensi akan mengurangi dominasi dolar AS dan mengurangi eksposur kawasan terhadap kondisi moneter dan kebijakan moneter AS. 

Eksposur tersebut telah terbukti di masa lalu seperti kekurangan dolar AS setelah penutupan kantor pialang kenamaan, Lehman Brothers. Hal itu menciptakan aliran modal yang tidak stabil dari kelebihan likuiditas yang diciptakan oleh kebijakan pelonggaran kuantitatif, dan jalur kenaikan suku bunga. 

Kedua, fakta bahwa Rusia merupakan produsen utama berbagai komoditas penting yang sebetulnya juga dibutuhkan negara-negara Barat, mulai minyak, gas, hingga pupuk. Dengan begitu, AS harus berpikir seribu kali jika hendak menerapkan sanksi dagang ketika Deklarasi Kazan melahirkan inisiatif penggunaan LCS dan mengurangi dolar AS. 

Ketiga, dengan potensi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global anggota mencapai angka 37 persen menguasai PDB dunia, BRICS jauh melampaui PDB negara-negara yang bergabung dalam kaukus ekonomi G7 yang beranggota AS, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang. Bahkan, Presiden Rusia Vladimir Putin membandingkan perubahan dalam pangsa PDB global antara G7 dan BRICS. 

Ia mengatakan, PDB G7 terus menyusut dari 1992 sebesar 45,5 persen menjadi 16,7 persen pada 2024. Dengan PDB agregat aliansi BRICS lebih dari 60 triliun dolar AS atau setara Rp 900.000 triliun (asumsi USD 1= Rp 15.000) dan total pangsa pasar global melebihi indikator pertumbuhan aliansi negara G7. 

Dalam beberapa dekade terakhir, lebih dari 40 persen pertumbuhan PDB global dan seluruh dinamika ekonomi global telah diperhitungkan oleh negara-negara BRICS.

Keuntungan strategis-ekonomis bisa diraih Indonesia yang mendaftarkan diri sebagai calon anggota BRICS dengan memanfaatkan kebijakan LCS demi mengurangi ketergantungan terhadap mata uang dolar AS yang pada gilirannya akan mereduksi tekanan pada neraca pembayaran. 

Kategori :