Masyarakat bisa membawa botol isi ulang, memasukkan uang atau pembayaran digital, kemudian bisa mengisi air mineral. Inovasi juga bisa dilakukan dengan mengolaborasikan minuman aneka rasa di satu mesin yang sama.
BACA JUGA: Pelabelan BPA pada Galon Guna Ulang, BPOM Perlu Penelitian Komprehensif
Dengan demikian, masyarakat bisa mulai beranjak untuk mengganti kebiasaan membeli air minum kemasan sekali pakai. Di ranah masyarakat, kesadaran akan membawa botol yang bisa digunakan berkali-kali tetap harus digalakkan.
Alih-alih menggunakan galon sekali pakai, masyarakat setidaknya harus kembali menggunakan galon isi ulang untuk mengkonsumsi air mineral. Produsen air mineral bisa mengambil ceruk ini dalam bisnisnya.
Seperti pada paragraf sebelumnya, produsen harus mulai bergerak menjual air galon isi ulang di tengah-tengah masyarakat. Produsen tetap mendapatkan profit, masyarakat bisa lebih menjaga penggunaan plastik sekali pakai.
BACA JUGA: Air Minum Terjamin di IKN: Kombinasi Smart Water Management System dan Potable Water
Pos-pos daur ulang dan layanan jemput sampah yang marak ditemui di kota besar layaknya Jakarta, juga harus diperbanyak di tengah masyarakat. Di tengah masyarakat yang bergerak serba cepat, proses memudahkan pengambilan atau pembuangan plastik bekas harus mudah diakses.
Dengan demikian, kesadaran warga untuk mengelola sampah plastik bisa mudah untuk dilakukan. Kita juga bisa belajar dari Jerman, bagaimana pengumpulan sampah bisa bernilai ekonomis.
Apabila secara anggaran belum bisa mumpuni untuk menguangkan sampah dari masyarakat, pemerintah ataupun swasta bisa berinovasi dengan pemberian voucher ataupun layanan khusus untuk masyarakat.
BACA JUGA: Mulai Beroperasi Juni 2024, Instalasi Pengolahan Air Sepaku Jadi Pemasok Air Minum di IKN
Air yang terjangkau dan ramah lingkungan sebetulnya bukan hal yang sukar untuk diterapkan. Dengan gagasan-gagasan yang dipaparkan di atas, harapannya negara bisa hadir, bisa menyejahterakan warganya lewat air bersih siap minum.
Jangan sampai julukan kita sebagai negara yang memiliki kekayaan alam melimpah, justru ternodai dengan kehadiran sampah yang membanjiri daratan serta lautannya. Alangkah malunya diri ini menyepakati gagasan go green, tapi hari lepas hari tak putus memproduksi sampah tiada henti. (*)
Yeremia Tulude Ambat--
*) Mahasiswa Magister Kajian Sastra dan Budaya Unair