Mengenal Agustinus Tri Budi Utomo, Pemimpin Baru Keuskupan Surabaya (3): Ingin Ahli Nuklir, Malah Jadi Pastor

Kamis 26-12-2024,09:00 WIB
Reporter : Michael Fredy Jacob
Editor : Noor Arief Prasetyo

Menjadi romo bukan menjadi mimpi Agustinus Tri Budi Utomo. Pria yang akrab disapa Romo Didik itu malah bercita-cita jadi ahli nuklir. Ia ingin kuliah Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Tetapi, Tuhan ingin Didik menjadi Romo.

ANTONIUS Kasmanto memang punya sejarah besar dalam awal karir Romo Didik. Kalau bukan karena Antonius, pasti Didik tidak akan jadi pastor. Bahkan, uskup saat ini pasti bukan Romo Didik. 

Antonius-lah yang mengajak Didik masuk ke seminari. Sekolah pendidikan calon imam Katolik. 

“Saya itu tidak paham, apa itu seminari. Karena ada kata seminar, saya pikir kayak seminar-seminar biasanya. Jadi, ya saya ikut saja saat diajak. Teman saya (Antonius) ngajak saya saat turun dari gunung Lawu,” kata Romo Didik kepada Harian Disway, Kamis, 19 Desember 2024.

BACA JUGA:Mengenal Agustinus Tri Budi Utomo, Pemimpin Baru Keuskupan Surabaya (1): Saat Remaja, Menjauh dari Agama

BACA JUGA:Mengenal Agustinus Tri Budi Utomo, Pemimpin Baru Keuskupan Surabaya (2): Pendakian yang Ubah Hidup

Setelah tahu seminari itu apa, Romo Didik tak mengubah pandangan. Berkat peristiwa di gunung Lawu itu, pria kelahiran 12 April 1968 tersebut berpandangan bahwa hidup seperti telur yang berada di ujung pisau. Keseimbangannya sangat ajaib.

“Telur tadi kalau bergeser sedikit saja, akan jatuh dan pecah. Itu yang saya rasakan pasca kejadian di gunung Lawu itu. Makanya saya ketika diajak Anton, ya saya mau. Karena istilahnya hidup saya sekarang hanya untuk membayar utang. Karena tidak punya pemahaman rohani ketika itu,” ucap pria yang pernah praktek di Stasi Karangrejo, Slorok, Blitar itu.

Romo Didik pun akhirnya mendaftar seminari menengah St Vincentius Garum, Blitar. Tapi, masih ikut-ikutan. Sebab, ia sudah mendaftar di Jurusan Teknik Nuklir UGM dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.


AJUKAN PERTANYAAN ketika kuliah, Frater Didik menempa ilmu di STFT WIdya Sasana, Malang.-Dokumen Pribadi-

Ketika mendaftar seminari, formulir pendaftaran harus mendapat surat rekomendasi pastor paroki dan izin orang tua. “Saat di pastor paroki lancar-lancar saja. Masalah kemudian terjadi saat ingin meminta tanda tangan restu dari orang tua,” kata Romo yang pernah menjalani tahun rohani Projo Interdiocesan di Paroki Celaket, Malang, tersebut.

Ketika itu ia akan kembali ke Ngawi. Dari Madiun, Didik harus naik bus jurusan Solo. Turun di Gendingan. Ia naik bus mini. Romo Didik ketika itu membawa berkas-berkas yang harus ditandatangani orang tua. Sesampainya di Gendingan, ia melanjutkan menggunakan dokar ke Desa Walikukun.

Dari desa itu, perjalanan dilanjutkan lagi menggunakan angkutan umum sampai di desa Pandansari, Kecamatan Sine. “Saya sampai di Walikukun, baru saya ingat. Berkas saya ketinggalan di bus. Saya pun sempat ke warung makan. Makan dulu sambil duduk di trotoar merenung,” bebernya.

Terlintas di benaknya bahwa ia tidak ’’diizinkan’’ masuk seminari. Tidak layak menjadi seorang romo.

“Jujur, saya senang. Saya mau kembali lagi ke Madiun. Saat saya berdiri, tiba-tiba bus yang saya tumpangi itu lewat. Saya tidak tahu kenapa bisa lewat tempat itu. Bus itu menghampiri saya. Kernetnya omong ke saya, map saya ketinggalan,” bebernya.

Kategori :