Penguatan Supremasi Sipil: Reformasi Polri Menguat, TNI Perlu Dikaji Ulang

Penguatan Supremasi Sipil: Reformasi Polri Menguat, TNI Perlu Dikaji Ulang

ILUSTRASI Penguatan Supremasi Sipil: Reformasi Polri Menguat, TNI Perlu Dikaji Ulang.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

MAHKAMAH KONSTITUSI melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 menyatakan bahwa frasa ”atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri adalah inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan mengikat. 

Dengan demikian, anggota Polri yang ingin menduduki jabatan sipil di luar kepolisian harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Polri terlebih dahulu. 

Keputusan tersebut memantik diskusi tentang seberapa jauh kewenangan Polri semestinya masuk ke ranah jabatan sipil yang berada di luar fungsi penegakan hukum. 

BACA JUGA:Revisi UU TNI Indikasi Perampasan Supremasi Sipil

BACA JUGA:Militerisme Hibrida Menghadapi Supremasi Sipil

Namun, pembicaraan itu tidak dapat berhenti pada Polri saja. Sebab, batas peran institusi keamanan dalam ruang sipil juga menyentuh TNI

Jika kita ingin menjaga kualitas demokrasi, TNI pun harus masuk ruang evaluasi yang sama, lebih-lebih setelah hadirnya UU TNI terbaru yang makin menegaskan batas penugasan militer dalam jabatan sipil. 

Pada titik itu, hal yang sedang dipertaruhkan bukan semata efisiensi pemerintahan, melainkan juga prinsip lebih fundamental: civilian supremacy (supremasi sipil). Yaitu, dalam negara demokrasi, jabatan pemerintahan dan ruang pengambilan keputusan strategis tetap harus berada di tangan unsur sipil.

BACA JUGA:DPR Resmi Sahkan RUU TNI, Gerindra Jamin Supremasi Sipil Tetap Terjaga

Reformasi 1998 telah menetapkan fondasi tata kelola keamanan nasional: Polri menjadi institusi sipil dengan mandat penegakan hukum, sementara TNI fokus pada pertahanan. 

Pemisahan itu bukan sekadar administrasi teknis, melainkan juga arsitektur demokrasi yang mengembalikan negara pada rel modern: militer dan kepolisian profesional dan pemerintah yang dipimpin oleh otoritas sipil. 

Dalam bahasa teori politik, itulah penerapan prinsip civilian supremacy. Yakni, otoritas tertinggi negara berada di tangan sipil yang dipilih dan diawasi publik.

Isu Polri lebih sering mencuat bukan semata karena kedekatannya dengan masyarakat dalam pelayanan sehari-hari, melainkan terutama karena agenda reformasi Polri tengah menjadi sorotan publik. 

Namun, jika konsistensi adalah standar, TNI juga harus menjadi bagian dari evaluasi yang sama. Sebab, prinsip supremasi sipil tidak boleh diterapkan secara selektif. UU TNI terbaru menegaskan larangan prajurit aktif menduduki jabatan sipil, kecuali posisi yang secara eksplisit ditentukan undang-undang. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: