Penguatan Supremasi Sipil: Reformasi Polri Menguat, TNI Perlu Dikaji Ulang

Penguatan Supremasi Sipil: Reformasi Polri Menguat, TNI Perlu Dikaji Ulang

ILUSTRASI Penguatan Supremasi Sipil: Reformasi Polri Menguat, TNI Perlu Dikaji Ulang.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Artinya, secara hukum, Indonesia telah membangun pagar institusional yang memadai. Namun, sebagaimana pengalaman banyak negara, tantangan demokrasi bukan hanya soal aturan tertulis, melainkan kedisiplinan menjalankan batas itu secara konsisten.

Dalam teori hubungan sipil-militer, Samuel P. Huntington (1957) memberikan kerangka analitis yang relevan untuk membaca situasi itu. 

Huntington menegaskan bahwa supremasi sipil tidak sekadar menempatkan militer atau aparat keamanan di bawah pemerintahan sipil, tetapi juga memastikan adanya batasan fungsi yang tegas. 

Ia membedakan dua bentuk kontrol. Pertama, objective control, yakni profesionalisasi militer yang ketat dan pembatasan ruang kerjanya hanya pada ranah pertahanan. Kedua, subjective control, ketika militer atau aparat keamanan justru terlibat lebih jauh dalam arena politik dan administrasi sipil. 

Dalam konteks Indonesia, pembicaraan mengenai jabatan sipil untuk Polri maupun TNI menunjukkan bahwa kontrol objektif masih membutuhkan penguatan institusional agar administrasi sipil tetap berada dalam kendali birokrasi yang akuntabel.

POLRI: KETIKA PENUGASAN SIPIL MENJADI PERDEBATAN TATA KELOLA

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah perwira tinggi Polri menduduki jabatan sipil strategis, baik di kementerian maupun lembaga nonstruktural. Penempatan itu sering kali legal dari sudut pandang formal, tetapi tetap menimbulkan pertanyaan: apakah fungsi utama Polri tetap terjaga? 

Apakah jabatan sipil menjadi pelarian dari logika profesionalisme kepolisian? Apakah birokrasi sipil justru kehilangan kesempatan untuk diperkuat dari dalam?

Kekhawatiran itu bukan sekadar kecemasan teknokratis. Ketika perwira aktif menduduki jabatan sipil, ada risiko munculnya pendekatan komando, efisien dalam operasi keamanan, tetapi tidak selalu kompatibel dengan karakter birokrasi yang deliberatif. 

Jika itu dibiarkan, ruang sipil dapat terpolisionalisasi tanpa disadari. Lebih jauh, publik bisa menafsirkan bahwa negara lebih percaya kepada aparat keamanan daripada ASN sendiri. 

Padahal, jika kita konsisten memegang prinsip supremasi sipil, ruang sipil harus dipimpin, dibangun, dan dipertanggungjawabkan oleh unsur sipil, bukan militer atau kepolisian.

TNI: PROFESIONALISME TERJAGA, TETAPI TANTANGAN MASIH ADA

TNI telah menempuh perjalanan reformasi panjang dan signifikan. UU TNI terbaru menegaskan bahwa prajurit aktif dilarang menduduki jabatan sipil, kecuali yang ditentukan undang-undang. 

Secara normatif, hal itu adalah penguatan nyata terhadap prinsip civilian supremacy. Namun, dalam praktik politik, terdapat beberapa celah yang kadang dimanfaatkan. Misalnya, penugasan personel dalam fungsi administratif yang memiliki dimensi pembangunan atau pengelolaan program. 

Dalam situasi tertentu, langkah itu mungkin memiliki justifikasi, seperti dukungan teknis keamanan atau kondisi darurat. Namun, dalam konteks demokrasi, setiap pengecualian harus dijaga ketat agar tidak berkembang menjadi normalisasi baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: