Masalah korupsi adalah masalah luar biasa dan bahkan darurat. Karena itu, tak cukup disikapi dengan pendapat hukum dan putusan hukum yang biasa-biasa saja. Perlu dan bahkan harus disikapi dengan pendapat dan putusan hukum yang luar biasa.
Seharusnya majelis hakim lebih berpikir dan menjadi seorang hakim ”gila” atau dalam istilah Satjipto, hakim progresif, atau dalam pandangan Nonet dan Selznick, hakim responsif. Untuk perkara darurat seperti itu, hakim semestinya tidak lagi hanya bersandar pada teks formal undang-undang, tetapi bisa berani selangkah lebih maju, selalu menimbang kemanfaatan dan rasa keadilan masyarakat.
Teks hukum formal di tangan hakim yang progresif hanyalah dijadikan semacam guide, dan bukan satu-satunya alat untuk mengambil putusan hukum.
Di tengah kedaruratan korupsi, kita sungguh sangat membutuhkan para penegak hukum yang berpikir progresif dan responsif demi kemaslahatan umat.
Seorang yuris Belanda bernama B.M. Taverne terkenal dengan kata-katanya yang berbunyi, ”Beri saya hakim, jaksa yang baik, dan polisi yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik”.
Kata-kata Taverne itu seakan ingin menegaskan kepada kita: peraturan yang baik dan sempurna sekalipun, jika penerapannya dilakukan orang yang bermental buruk, hasilnya pun akan buruk dan mengecewakan begitu banyak pihak.
Umumnya, cara berhukum di negeri kita masih lebih didominasi ”berhukum dengan peraturan” (legalistik-positifistik) daripada ”berhukum dengan akal sehat dan hati nurani”.
Menurut begawan hukum Indonesia Satjipto Rahardjo (2010), berhukum dengan peraturan adalah berhukum minimalis, yaitu menjalankan hukum dengan cara menerapkan apa yang tertulis dalam teks secara mentah-mentah.
Ia berhenti pada mengeja undang-undang. Jiwa dan roh hukum tidak ikut dibawa-bawa.
Progresivitas hukum dari hakim sebenarnya bisa dilakukan dengan menghayati spirit normatif yang ada dalam UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Karena itu, dalam konteks ini, para pengadil tidak hanya dituntut untuk memiliki kecakapan dan pengetahuan hukum yang cukup, tapi juga dituntut untuk memiliki skiil, kreativitas, dan terobosan hukum yang positif yang berdampak pada keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
Pesan moral yang kuat datang dari begawan hukum Satjipto Rahardjo (2008:147), dalam suasana darurat korupsi seperti sekarang, kita sangat membutuhkan hakim-hakim progresif. Hakim seperti itu tidak datang dengan semangat kosong, tetapi penuh determinasi, komitmen, dan keberanian untuk memberantas korupsi.
Itulah pilihan Indonesia bangun dari keterpurukan hukum. Pendekatan hukum progresif lebih mendekatkan pada keadilan dan kebenaran yang substantif. (*)
*) Umar Sholahudin adalah dosen sosiologi hukum FISIP, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dan penulis buku Hukum dan Keadilan Masyarakat.