BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Mohammad Rozi (1): Gurihnya Merintis Jualan Tempe di Inggris
Bulan pertama saya di Paris adalah bulan penuh belajar ulang. Belajar mengucapkan "bonjour" dengan intonasi yang benar, bukan seperti Google Translate. Belajar bahwa “je vous en prie” bukan sekadar "you’re welcome", tapi ekspresi elegan dari keramahtamahan yang melembutkan ruang negosiasi.
Namun, ada kalimat andalan saya. ”Bonjour, je viens d’apprendre le français. Je ne parle que l’anglais. Parlez-vous anglais ?” – "Halo, saya baru belajar bahasa Prancis. Saya hanya bisa bahasa Inggris. Apakah Anda bisa bahasa Inggris?”.
Itupun, saya harus waspada. Karena sering kali lawan bicara tetap nyerocos dengan bahasa Prancis. Mungkin pikir mereka, ”Anda bilang nggak bisa bahasa Prancis tapi dalam bahasa Prancis”.
BACA JUGA: Sumur dan Matahari (7): Jatuh Cinta itu Tidak Lebih Indah dari Masuk Penjara
Mendampingi Menko Ekonomi Airlangga Hartarto yang diundang sebagai narasumber di forum World Engineering Forum di UNESCO.--I.G.A.K Satrya Wibawa
Sebenarnya, saya ingin sekali kursus. Bukan demi nilai atau sertifikat, tapi demi memahami lebih dalam lanskap sosial tempat saya mewakili Indonesia.
Belajar bahasa bukan hanya untuk berbicara tapi untuk mendengar. Tapi waktu yang tersedia tidak memungkinkan. Sehingga saya lebih mendengarkan pengumuman di bus, metro, atau mendengarkan secara seksama.
Saya menyimpulkan bahwa bahasa Prancis itu rumit minta ampun. Ada huruf tertulis, tapi tidak dibaca. Lah ngapain ditulis? Dibacanya beda dengan apa yang ditulis. Belum lagi beda nada sengau.
BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Marisa Tania (2): Di Antara Benang dan Kata
Namun, tentu itu adalah bagian dari pembelajaran. Sehingga kadang, dalam bus kota, saya sering komat-kamit mencoba mengikuti apa yang diucapkan sopir saat menyebutkan halte berikutnya. Apakah berhasil? Tentu saja tidak, saya salah semua.
Dari semua pelajaran diplomasi selama lima bulan pertama ini, justru pelajaran paling manusiawi yang membekas yakni: kerendahan hati untuk belajar bahasa orang lain adalah bentuk tertinggi dari penghormatan. Dalam hubungan antarbangsa, rasa hormat adalah fondasi dari semua bentuk kerja sama.
Partner dari Prancis pun menyatakan rasa hormatnya. Kata mereka, “Vous essayez, c’est déjà très bien” - Anda mencoba, itu saja sudah sangat baik.
BACA JUGA: Masjid Ikon Surabaya (26): Muslim Tionghoa Di Balik Berdirinya Masjid Cheng Ho
Sebagai orang dari negara yang punya lebih dari 700 bahasa daerah, dan setiap orang di Indonesia setidaknya bicara minimal dua bahasa sejak lahir, tentu kesulitan berbahasa Prancis ini bukan kegagalan. Jadi tak perlu dirisaukan.
Hei, bukankah hidup adalah perjalanan pembelajaran. Jadi, saya menikmati prosesnya. Kalaupun nanti saya tetap tidak fasih berbahasa Prancis, setidaknya saya sudah mencoba. Bukankah dengannya kita tahu kalau kita berhasil atau gagal? (*)