Sejak penugasan sebagai Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO di Paris diumumkan, saya sebenarnya sudah berusaha belajar Bahasa Prancis. Tapi nyatanya tak semudah itu.
Tahu kan bahasa bukan sekadar soal tata bahasa atau kosakata. Ia soal ritme, intonasi, bahkan keberanian untuk salah. Untungnya dalam dunia kerja saya, bahasa Inggris tetap dominan.
Bahkan seperti organisasi internasional lainnya, UNESCO menyediakan enam bahasa kerja dunia dengan penerjemah. Sehingga dalam proses sidang dan rapat, tidak menjadi persoalan.
BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Mohammad Rozi (3): Tinggalkan PNS Demi Better Job
Tapi sejak awal bertugas saya tidak memikirkan hal besar seperti geopolitik budaya, negosiasi multilateral, atau diplomasi pendidikan. Yang saya pikirkan justru sederhana tapi nyata: “Bagaimana cara saya menyapa kolega yang tidak berbicara bahasa Inggris dalam rapat?”
Menurut laporan Organisation internationale de la Francophonie (OIF) pada 2022, terdapat sekitar 321 juta penutur bahasa Prancis di seluruh dunia.
Jumlah ini mencakup penutur asli maupun penutur bahasa kedua. Sebagian besar penutur bahasa Prancis berada di Afrika, dengan sekitar 62 persen dari total penutur global berasal dari benua tersebut.
BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Marisa Tania (4): Beyond the Runway; Cerita dari San Francisco
Pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan populasi dan penggunaan bahasa Prancis sebagai bahasa pengantar pendidikan di banyak negara Afrika.
Diperkirakan bahwa jumlah penutur bahasa Prancis akan terus meningkat, dan pada tahun 2050, jumlahnya bisa mencapai 700 juta orang, dengan sekitar 80 persen di antaranya berada di Afrika.
Bahasa Prancis saat ini merupakan bahasa resmi di 26 negara dan digunakan secara luas di lebih dari 50 negara dan wilayah sebagai bahasa resmi, administratif, atau budaya.
Menjadi warga Paris bersama keluarga. Tampak pemandangan Menara Eiffel yang ikonik. --I.G.A.K Satrya Wibawa
Yang juga menjadi tantangan adalah dalam keseharian. Tentu, saya bersuka hati karena ketakutan soal orang Prancis yang kasar atau tidak mau berbahasa Inggris, tidaklah benar. Tentu pengalaman pribadi saya tidak bisa disamakan karena setiap orang punya pengalaman dan persepsi masing-masing.
Sebagai orang yang terdidik dengan latar belakang ilmu komunikasi, saya percaya bahwa kadang komunikasi nonverbal itu kadang jauh lebih efektif. Kadang yang tak tertulis jauh lebih penting dari yang tertulis.
Satu anggukan, satu ungkapan ringan dalam bahasa lokal, bisa membuka percakapan atau kepercayaan yang tak bisa dibangun lewat email formal. Jadi bisa saja saya menganggukkan kepala sambil tersenyum sepanjang percakapan, dan saya tidak paham apa yang disampaikan. Yang penting lawan bicara tidak merasa diabaikan.