Lebih dari itu, dalam hal distribusi produk olahan ini juga dilakukan secara lebih tepat sasaran, menjangkau wilayah miskin, rawan pangan, pesantren pedalaman, hingga daerah pascabencana. Kurban tak hanya berakhir di satu hari, tetapi menjadi bagian dari gerakan ketahanan pangan dan pemberdayaan masyarakat.
Selain itu, proses ini membuka peluang pemberdayaan ekonomi di berbagai sektor. Peternak lokal, juru sembelih bersertifikat, pelaku UMKM pengolahan makanan halal, hingga tenaga logistik akan ikut terlibat. Artinya, kurban tak lagi hanya soal konsumsi, melainkan juga membuka lapangan kerja dan menggerakkan roda ekonomi umat secara kolektif.
BACA JUGA: Jual Daging Jatah Kurban, Bolehkah?
Model ini selaras dengan prinsip maqashid syariah, yakni menjaga jiwa, harta, dan ketahanan sosial. Ia juga berakar kuat pada prinsip al-Ghazali tentang pentingnya distribusi kekayaan agar tidak terpusat di satu golongan saja. Lebih dari itu, kurban kolektif produktif dapat menjadi instrumen penguatan ekonomi umat yang bermartabat dan terorganisir.
Di sinilah kurban menjadi lebih dari sekadar ibadah ritual, ia menjelma sebagai gerakan filantropi strategis. Tentu, pelaksanaannya harus berbasis tata kelola amanah, transparan, dan akuntabel agar dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga pengelola dana sosial Islam.
Daging yang diperoleh tidak hanya dibagikan mentah, tetapi diolah menjadi produk tahan lama seperti rendang kaleng, abon, frozen food halal, atau bahkan diolah menjadi stok logistik bencana dan bantuan pangan jangka menengah.--pasuruankab.go.id
Mengkritisi Konsumsi Berlebih dan Menyemai Kesadaran Sosial
Kita juga perlu melakukan kritik terhadap budaya konsumtif selama Idul Adha. Dalam banyak kasus, perayaan kurban justru diwarnai dengan pemborosan makanan. Berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), volume limbah makanan di Indonesia selama momen kurban dan hari raya bisa mencapai 1,3 juta ton per tahun.
BACA JUGA: Menjaga Ketersediaan Daging Sapi Jelang Ramadan
Ini angka yang sangat besar, mengingat banyak masyarakat masih hidup dalam keterbatasan gizi dan kelaparan. Islam sendiri sudah mewanti-wanti umatnya untuk tidak berlebihan dalam konsumsi sebagaimana termaktub dalam QS. Al-A’raf ayat 31 menyatakan.
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” Maka, pelaksanaan kurban yang boros dan tidak ramah lingkungan sejatinya bertentangan dengan etika Islam yang menekankan efisiensi sosial dan keberlanjutan.
Di tengah kondisi ekonomi yang memburuk, kita perlu reinterpretasi atas ibadah kurban. Sebuah refleksi yang tidak hanya menyentuh sisi ritual-spiritual, tetapi juga aspek sosial dan ekonomi. Kurban harus menjadi momentum perbaikan pola pikir, pola konsumsi, dan pola distribusi.
BACA JUGA: Megawati dan PDIP Jatim Sumbang Ratusan Sapi Kurban, Dua Sapi Mega untuk Bung Karno
Kurban harus mengajarkan bahwa ibadah tidak berhenti di tempat pemotongan hewan, melainkan meluas hingga meja makan keluarga miskin yang jarang mencicipi daging. Nabi Ibrahim mengajarkan bahwa puncak pengorbanan adalah keikhlasan yang berdampak.
Pengorbanan beliau adalah revolusi ruhani yang menuntut keberanian melawan egoisme dan individualisme. Dalam konteks hari ini, kita bisa meneladani nilai tersebut dengan mengorbankan sebagian kenyamanan pribadi untuk mengangkat kehidupan sesama yang masih dalam jeratan kemiskinan struktural.
Jika kurban dilakukan dengan pola baru yang produktif dan terorganisir, maka Idul Adha tidak hanya menjadi hari besar keagamaan, tetapi juga hari kebangkitan sosial umat. Kurban menjadi instrumen yang menyatukan spiritualitas dengan solusi ekonomi umat. Ia menjadi jembatan antara langit dan bumi, antara ibadah dan pemberdayaan, antara ritual dan keberlanjutan.
BACA JUGA: Panduan Lengkap Mengolah Daging Kurban Secara Sehat dan Higienis