Dua Bangsa Desar di Dunia Modern: Refleksi tentang Hubungan Indonesia dengan Tiongkok (2-Habis)

Jumat 06-06-2025,14:30 WIB
Reporter : Dion Yulianto*
Editor : Heti Palestina Yunani

Dengan begitu besar dan eratnya hubungan di antara kedua bangsa besar ini, selayaknya penting untuk dituliskan lebih banyak karya, berbagai tulisan, makalah, maupun buku khusus tentang topik tersebut. Buku Mengarungi Jejak Merajut Asa 75 Tahun Indonesia-Tiongkok; Dinamika Geopolitik, Ekonomi Global, dan Sosial Budaya ini salah satunya. 

Dengan rapi, buku ini mampu menyajikan rekam jejak hubungan di antara kedua negara yang telah melewati berbagai fase, mulai dari masa hangat di era Presiden Soekarno, hingga ketegangan politik pasca-1965, normalisasi hubungan di bawah Presiden Soeharto, hingga perkembangan terkini di bawah Presiden Prabowo Subianto. 

Keistimewaan buku ini ada pada kelengkapannya dalam merangkum berbagai peristiwa dan tema penting dengan sudut pandang seimbang, kritis, mencerahkan, dan apresiatif.

BACA JUGA:Oleh-Oleh dari Presiden Recep Tayyip Erdogan

Sebagai sebuah bunga rampai, pembaca akan menemukan banyak hal terkait hubungan kedua bangsa. Tidak melulu tema politik, tetapi juga banyak tema yang pasti menarik. 

Tema humanisme seperti dalam bab Warisan Soekarno dan Gus Dur: Dari Persahabatan Revolusi ke Diplomasi Humanis karya Nabila Ghassani. Tema keislaman dalam esai Membangun Kepercayaan dengan Negara Muslim Terbesar karya Imron Rosyadi Hamid. 

Tema sosial budaya dalam tulisan Tionghoa Surabaya: Jalan Integrasi Menjadi Manusia Indonesia karya Iksan K. Sahri. Serta, tema sejarah dalam tulisan Mengenal Koleksi Pers Melayu-Tionghoa milik Perpustakaan Nasional Republik Indonesia karya Frial Ramadhan Supratman.

BACA JUGA:RUU Perampasan Aset dan Skenario Terburuk untuk Demokrasi Indonesia 2025

Tulisan Budy Sugandi, Pramoedya Ananta Toer: Sastra, Politik, dan Pembelaan terhadap Warga Tionghoa mengangkat tema menarik dengan menyoroti pasang surut hubungan diplomatik Indonesia dan Tiongkok selama 75 tahun (1950–2025), terutama fase “kritis” antara 1955 hingga 1960-an. 

Periode ini menarik karena diwarnai gejolak politik yang panas. Tidak hanya lekat dengan peristiwa Geger 65, tetapi juga terkait sejumlah kondisi kompleks lain termasuk terjadinya konflik rasial antara kelompok Tionghoa versus warga pribumi. 

Salah satu pribumi yang turut terseret menjadi korban kompleksnya kekisruhan dalam negeri yang diwarnai sentimen rasial pada masa itu adalah sastrawan legendaris Pram. Pram sebagaimana dikutip Budy Sugandi adalah korban dari pemerintahan bayangan yang digerakkan oleh kelompok militer (hal. 246–247). 


Bendera Indonesia yang tersingkap memperlihatkan bendera Tiongkok di bawahnya, simbol metaforis pasang surut hubungan kedua negara, terutama pada fase kritis 1955–1960-an. --

BACA JUGA:Pengangguran Kian Meluas, Ekonomi Syariah Bisa Jadi Jalan Tengah

Kerusuhan rasial ini sangat bertolak belakang dengan semangat Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Padahal dalam konferensi bersejarah di Bandung itu, Zhou Enlai telah menegaskan bahwa Tiongkok berupaya mencari dasar-dasar persamaan, bukan untuk memperuncing perbedaan lewat KAA. 

Tahun 1959 diwarnai dengan munculnya kebijakan berbau rasial yang mendorong aksi-aksi rasialisme, salah satunya terhadap warga Tionghoa di tahun-tahun berikutnya. Kebijakan Politik di akhir 1950-an dan awal 1960-an ini menyebabkan keretakan hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok. 

Puncaknya adalah dengan meletusnya tragedi 1965 (G30S) yang disusul tumbangnya kekuasaan Soekarno dan pergantian rezim Soeharto dan Orde Baru-nya. Pada era Orde Baru inilah Indonesia melalui rezim Soeharto menuduh Tiongkok memberikan dukungan pada Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk melakukan kudeta 1965. Hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok pun resmi terputus pada 1967 (hal. 250).

Kategori :