Dua Bangsa Desar di Dunia Modern: Refleksi tentang Hubungan Indonesia dengan Tiongkok (2-Habis)

Jumat 06-06-2025,14:30 WIB
Reporter : Dion Yulianto*
Editor : Heti Palestina Yunani

BACA JUGA:Pendidikan Gratis vs Pendidikan Bermutu

Akibat langsung kebijakan rasialis tahun 1959 ini adalah banyaknya warga Tionghoa yang menjadi sasaran kekerasan dan diskriminasi. Pram pun tergerak untuk menulis dan menerbitkan bukunya Hoakiau di Indonesia. 

Buku yang berisi pembelaannya terhadap warga Tionghoa Indonesia inilah yang lalu membuat Pram dijebloskan ke dalam penjara. Lewat buku tersebut, Pram dituduh telah menjual Indonesia ke Tiongkok (hal. 250). Lebih jauh, Pram sempat menyebut pihak militer sebagai kekuasaan bayangan (hal. 251).

Buku Hoakiau di Indonesia karya Pram diterbitkan Bintang Press pada tahun 1960. Buku ini sendiri berisi kumpulan surat dan esai Pram yang ditulis secara serial di harian Bintang Timur. Tujuannya adalah untuk melawan kebijakan pemerintah yang memaksa orang Tionghoa menutup seluruh usaha, ritel dan toko mereka di wilayah pedesaan paling lambat 1 Januari 1960 (hal. 252). 

BACA JUGA:Mengapa Lulusan Vokasi Masih Dipandang Sebelah Mata?

Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1959. Dampaknya adalah terjadinya larangan warga Tionghoa untuk tinggal dan membuka usahanya di desa-desa dengan alasan bahwa keberadaan dan aktivitas ekonomi warga asing di pedesaan yang tanpa kontrol akan cenderung menggusur ruang-ruang ekonomi bagi warga pribumi.

Warga Tionghoa di Indonesia pun dikategorikan sebagai warga asing (non-pribumi) karena ketidakpastian status hukum dan kewarganegaraan mereka. Kebijakan ini mengakibatkan eksodus besar-besaran warga Tionghoa ke Tiongkok. 

Diperkirakan 102 ribu hingga 136 ribu warga Tionghoa-Indonesia pindah ke Tiongkok melalui kapal-kapal yang dikirimkan pemerintah Tiongkok. Meski demikian, tidak semua warga Tionghoa memilih meninggalkan Indonesia sehingga mereka dianggap tidak memiliki status kewarganegaraan alias stateless. 


Ilustrasi dua tokoh berjabat tangan di pelabuhan menggambarkan awal hubungan damai Indonesia-Tiongkok, kontras dengan masa eksodus warga Tionghoa akibat kebijakan diskriminatif. --

BACA JUGA:Partisipasi Perempuan untuk Emansipasi

Pram menyebut Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1959 ini sebagai peraturan yang rasialis. Etnis Tionghoa di Indonesia yang stateless ini rentan mendapatkan tekanan dan aksi-aksi represif dan diskriminatif, terutama dari aparat keamanan. Mereka inilah yang hendak dibela Pram. 

Etnis Tionghoa itu sudah sangat lama menetap di Indonesia dan memiliki andil dalam pertempuran melawan kaum penjajah. ”Di Surabaya saat revolusi dimulai, orang Tionghoa berjuang beriringan dengan orang Indonesia,” ucap Pram dalam sebuah esainya di harian Bintang Minggu (edisi Minggu Bintang Timur) pada 17 Januari 1960 (hal. 253).

Tulisan Pram yang kemudian diulas dengan mendalam oleh salah satu kontributor buku ini selayaknya menjadi catatan sekaligus perenungan tentang betapa peliknya hubungan kedua negara dan betapa pentingnya menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di atas sentiment positif. 

BACA JUGA:Generasi Z dan Krisis Makna: Hidup dalam Pusaran Scroll Tak Berujung

Demikian pula berbagai tulisan-tulisan lain dalam bunga rampai yang beragam dan ditulis mendalam di buku ini juga layak untuk dibaca dan direnungkan. Para kontributor memaparkan bagaimana hubungan Indonesia-Tiongkok bukan sekadar persoalan diplomasi formal semata, melainkan juga punya kaitan erat dengan perubahan sosial, ekonomi, hingga budaya negeri ini.

Langkah-langkah berani Presiden Abdurrahman Wahid yang dituliskan dengan begitu jernih oleh Nabila Ghassani dalam esainya (hal. 17) layak mendapat perhatian. Gus Dur telah berjasa besar dalam menunjukkan pentingnya merangkul etnis Tionghoa sebagai sesama warga negara yang berhak tinggal dan menjalankan keyakinan serta budayanya di Indonesia. 

Kategori :