Mengapa Lulusan Vokasi Masih Dipandang Sebelah Mata?

Mengapa Lulusan Vokasi Masih Dipandang Sebelah Mata?

Sekolah Vokasi yang didirikan oleh Universitas Gadjah Mada.-Dok. UGM-


--

Oleh: Teddy Kusworo

Praktisi senior sektor Industri Fabrikasi Lembaran logam, Mahasiswa Prodi S3 Pendidikan Vokasi, Sekolah Pascasarjana Unesa.

 

BAYANGKAN memiliki mesin canggih tetapi tak ada yang bisa mengoperasikannya. Itulah potret industri Indonesia saat ini: SMK dianggap 'sekolah buangan', sementara pendidikan vokasi dan TVET (Technical and Vocational Education and Training) di level lebih tinggi yang seharusnya mencetak 'operator andal' justru sepi peminat. 

Padahal, di negara maju seperti Jerman, lulusan vokasi adalah tulang punggung ekonomi. Inilah jurus jitu negara maju seperti Jerman dan Singapura untuk menciptakan tenaga kerja siap pakai. 

Persepsi ini sebenarnya tidak sepenuhnya akurat, mengingat pendidikan vokasi dan  TVET memiliki peran penting dalam mempersiapkan tenaga kerja terampil yang sangat dibutuhkan di era industri 5.0.

Data dari Kemendikbud (2022) menunjukkan bahwa hanya 12 persen mahasiswa memilih program vokasi/D4, sementara 80 persen lulusan SMP lebih memilih SMK. BPS (2023) menyatakan Indonesia butuh 9 juta tenaga terampil setiap tahun. 

BACA JUGA:Pendidikan Vokasi Saatnya Unjuk Gigi

BACA JUGA:Refleksi 2024, Optimisme 2025: AI dan Pendidikan Vokasi sebagai Kunci Menuju Indonesia Emas

Masalah utama adalah kurikulum yang ketinggalan zaman, banyak materi tidak sesuai dengan kebutuhan industri 5.0, sehingga lulusan sulit mendapat pekerjaan. Ada juga stigma negatif terhadap pendidikan vokasi yang dianggap "kelas dua". 

Penelitian global (2023) menunjukkan di negara dengan stigma kuat, pengangguran lulusan TVET 15 persen lebih tinggi. Masyarakat juga sering salah paham tentang perbedaan antara SMK, sekolah kejuruan menengah (contoh: Teknik Mesin), dan vokasi, pendidikan tinggi kejuruan (contoh: D3 Akuntansi, D3 Mesin, dll).

Solusi nyata pemerintah perlu bekerja sama dengan industri untuk memperbarui kurikulum. Perusahaan harus memberikan insentif kepada lulusan vokasi. Masyarakat perlu mengubah pola pikir: vokasi = jalur karier yang bergengsi. Pelajaran dari Jerman Negara ini berhasil menciptakan tenaga kerja terampil melalui sistem vokasi yang kuat. 

Sementara kita masih terjebak pada gelar sarjana yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan pasar. Langkah yang harus diambil sekarang hilangkan anggapan "vokasi = pilihan terakhir" Permudah birokrasi sertifikasi dorong kolaborasi antara kampus dan industri "Daripada memperdebatkan gelar, lebih baik fokus pada kompetensi," tegas Teddy, seorang praktisi yang juga mahasiswa S3 Pendidikan Vokasi Unesa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: