Centre for Strategic Global Studies: Perkuat Kapasitas Komunitas Tanggap Bencana

Selasa 14-01-2025,19:47 WIB
Oleh: Elfio Ariyan Koesuma dan Himma


Elfio Ariyan Koesuma, Asisten Peneliti Centre for Strategic and Global Studies, Universitas Airlangga dan Himmalia Dewi, Asisten Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga.--

Centre for Strategic Global Studies (CSGS), Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) menyelenggarakan acara Seminar and Workshop on Disaster Preparedness pada Senin, 13 Januari 2025. Kegiatan itu hasil berkolaborasi dengan Japan Foundation dan difokuskan untuk melatih anak-anak muda yang tergabung dalam berbagai komunitas tanggap bencana untuk memberdayakan komunitas lokal dalam penanganan bencana. 

Bagi CSGS, bencana alam merupakan masalah serius yang harus ditangani secara strategis. Indonesia dan Jepang merupakan dua negara yang rawan bencana. Gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus adalah tiga bentuk bencana alam yang kerap menghantam kedua negara. Jika Jepang sering dilanda angin topan, beberapa daerah di Indonesia sekarang ini sedang menghadapi ancaman banjir.

Bencana terbesar yang pernah dihadapi Indonesia dan Jepang adalah tsunami dan gempa bumi. Pada 26 Desember 2004, tsunami dan gempa bumi di Aceh merenggut nyawa sekitar 220.000 orang. Situasi serupa dialami Jepang yang diterjang tsunami dan gempa bumi pada 11 Maret 2011, menyebabkan 20.000 jiwa meninggal.


Foto Udara Kawasan Meulaboh tampak bersih dari perumahan karena tersapu Tsunami.-Boy Slamet-

Perbedaan Indonesia dan Jepang terletak pada kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana dan menyelesaikan dampak buruk akibat bencana. Kesiapan masyarakat Jepang menghadapi bencana berdampak meminimalisir jumlah korban. Hal itulah yang perlu dipelajari oleh Indonesia.

Karena itu, CSGS mengundang pakar manajemen bencana dari Institute for Global and Environmental Strategies (IGES), Jepang, Yosuke Arino, untuk berbagi pengalaman dalam menghadapi bencana sekaligus memberikan pelatihan tanggap bencana. 

Selain itu, CSGS juga mengundang pakar kesehatan dan keselamatan kerja dari Unair, Tofan Agung Eka Prasetya, untuk menjelaskan kondisi keselamatan pekerja dalam situasi bencana.

Kedua pakar tersebut memiliki keahlian relevan dengan salah satu kajian CSGS dalam keterlibatan berbagai pihak lintas sektor untuk melakukan mitigasi bencana sekaligus kesigapan aksi untuk mengurangi dampak negatif bencana. 

Karena itu, CSGS mengundang sejumlah relawan dan aktivis tanggap bencana dari berbagai komunitas seperti Akta Bumi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, Gusdurian Surabaya, ALSA Greenade, UKM Wanala Unair, Mahagana Unair, Green Millenial, dan Amnesty International Chapter Unair. Tujuannya adalah untuk membangun kesadaran bersama tentang urgensi menyiapkan masyarakat lokal menghadapi bencana yang kemungkinan terjadi.

Kesadaran Masyarakat dan Komunitas Lokal

Dalam paparannya, Arino menjelaskan bahwa lebih dari setengah persentase sebaran bencana alam yang terjadi di seluruh dunia terjadi di Asia. Bencana yang terjadi di Jepang maupun di Indonesia juga bukanlah suatu bencana tunggal, tetapi merupakan sejumlah rangkaian yang disebut multi-risk disaster. Contohnya, gempa bumi memiliki potensi menimbulkan tsunami, seperti yang pernah dialami Indonesia pada 2004 dan Jepang pada 2011.


Anggota TNI membersihkan puing-puing pasca Tsunami di kawasan Masjid Baiturrachman.-Boy Slamet-

Dia mengisahkan pengalamannya ketika para peneliti dan ahli di bidang mitigasi resiko bencana bekerja sama dengan pemerintah Jepang untuk ikut serta membuat kebijakan yang diterapkan dari tingkat nasional hingga tingkat lokal. Untuk melakukan mitigasi bencana, Arino memaparkan konsep Disaster Risk Reduction (DRR) yang terdiri atas mitigasi, persiapan, pemulihan, dan respons.

Namun, saat ini terdapat kesenjangan antara ilmu dan informasi yang telah ada, sehingga perlu untuk diperbaharui kembali dan diselenggarakannya pelatihan mulai dari tingkat nasional hingga tingkat lokal. Masalah ini sulit untuk diatasi lantaran perubahan iklim terjadi secara tidak pasti dan sulit untuk diprediksi. Karena itu, Arino menekankan masyarakat untuk memiliki kapasitas adaptif dan sensitif.

Kategori :