PDB agregat aliansi BRICS lebih dari 60 triliun dolar AS atau setara Rp 900.000 triliun (asumsi USD 1 = Rp 15.000) dan total pangsa pasar global melebihi indikator pertumbuhan aliansi negara G-7.
Dalam beberapa dekade terakhir, lebih dari 40 persen pertumbuhan PDB global dan seluruh dinamika ekonomi global telah diperhitungkan negara-negara BRICS.
Munculnya aliansi ekonomi yang dimotori Rusia dan Tiongkok itu, sebagaimana yang dikhawatirkan banyak pihak, kian menempatkan situasi global ke arah polarisasi kekuatan ekonomi yang makin eskalatif dan berpotensi saling melakukan politik embargo maupun perang tarif.
Dengan demikian, ketika Indonesia bergabung ke aliansi BRICS di saat hubungan Tiongkok dan Rusia berada pada top form, hal itu berisiko ditafsirkan sebagai bentuk ”perlawanan halus” terhadap Barat.
Pandangan bias Barat terhadap pengalaman politik Indonesia di masa lalu yang pernah merintis poros politik Jakarta-Beijing-Moskow berpotensi melahirkan tindakan retaliasi AS dan Barat di sektor perdagangan internasional.
Poros tersebut merupakan rumusan politik luar negeri Indonesia ala Soekarno yang cenderung anti-Barat dan condong kepada negara-negara sosialis-komunis meski mengusung politik luar negeri bebas aktif.
Poros Jakarta-Beijing-Moskow ala Soekarno di era Orde Lama juga menandai perubahan kebijakan pendekatan nonkapitalis dan koeksistensi damai ke arah anti-imperialisme dan kemandirian sesuai gagasan Beijing (Tornquist 2011:67).
PELUANG DAN TANTANGAN
Langkah strategis Indonesia dengan bergabung ke dalam keanggotaan BRICS, menurut pertimbangan sejumlah ekonom, membawa banyak peluang yang sangat menguntungkan.
Pertama, Indonesia memiliki kesempatan luas memasuki pasar yang berpopulasi 3,5 miliar jiwa atau 42 persen dari total populasi dunia.
Kesempatan membuka peluang kerja sama dengan Rusia sebagai produsen energi, India di sektor teknologi digital, dan Tiongkok dalam kerja sama sektor infrastruktur serta Afrika Selatan dalam pertambangan.
Kedua, penguatan kerja sama Selatan-Selatan berpotensi mereduksi ketergantungan pasar ekspor Barat yang cenderung restriktif terhadap sejumlah produk ekspor Indonesia.
Ketiga, menawarkan alternatif pendanaan melalui new development bank (NDB) yang mampu mendukung proyek infrastruktur Indonesia.
Keempat, wacana penggunaan mata uang lokal akan berpengaruh sangat signifikan terhadap neraca perdagangan.
Saat harga minyak mentah relatif tinggi yang ditawarkan para pemasok seperti Nigeria, Arab Saudi, Singapura, India, hingga Amerika Serikat (AS), harga minyak Rusia jauh lebih miring.
Pasca terkena embargo sejak konflik Rusia-Ukraina, AS dan sejumlah negara Barat menerapkan sanksi ekonomi kepada sejumlah produsen minyak mentah yang terafiliasi dengan Kremlin dengan tujuan mengurangi kemampuan negara tersebut untuk mendanai perang.