Regulasi Baru Jaminan Kehilangan Pekerjaan, Dampak Efisiensi Anggaran?

Kamis 27-02-2025,21:41 WIB
Oleh: Sukarijanto*

Di sisi lain, bagi pengusaha, aturan tersebut dinilai tidaklah membawa pengaruh yang signifikan lantaran iuran JKP itu tidak ada lagi bagi pekerja dan pengusaha tidak membayarkan iuran tambahan. Sementara itu, sumber pendanaan JKP itu berasal dari rekomposisi iuran jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan APBN. 

Akan tetapi, jika dicermati lebih mendalam, ada beberapa tantangan yang harus diantisipasi. Yaitu, keberlanjutan pendanaan skema JKP itu perlu mendapat perhatian serius. Apakah dana JKP cukup mampu untuk menopang pembiayaan kompensasi selama enam bulan ke depan jika terjadi gelombang PHK massal? 

Selanjutnya, jika dana itu sepenuhnya berasal dari iuran BPJS Ketenagakerjaan, perlu diperhitungkan dengan cermat bahwa jumlah peserta, tingkat kepatuhan pembayaran iuran, serta kebijakan investasi BPJS mampu menopang program tersebut dalam jangka panjang tanpa membebani APBN atau menimbulkan defisit. 

Berarti, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana itu akan menjadi sangat krusial agar kebijakan tersebut tidak berakhir sebagai beban keuangan yang sulit dikendalikan.

Regulasi baru tersebut perlu diiringi penguatan di sektor pengawasan agar kebijakan itu tidak disalahgunakan perusahaan untuk melakukan PHK secara sepihak dan tidak bertanggung jawab. 

Dalam beberapa kasus, terendus indikasi bahwa kebijakan seperti itu justru berpotensi mendorong dunia usaha untuk lebih berani mengambil keputusan PHK karena tahu bahwa pekerja tetap mendapatkan kompensasi. 

Konsekuensinya, hal itu bisa membawa efek negatif jika tidak diimbangi dengan aturan ketat mengenai mekanisme PHK yang adil serta sanksi bagi perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja secara sewenang-wenang.

Regulasi itu akan lebih decisive jika disertai kebijakan tambahan yang mewajibkan perusahaan untuk memiliki rencana restrukturisasi tenaga kerja yang transparan dan terukur sebelum melakukan PHK. 

Kemudian, efektivitas program pelatihan yang dijanjikan dalam skema JKP belum mendapat kejelasan. Dalam berbagai program sebelumnya, pelatihan sering kali hanya menjadi syarat formalitas dengan hasil yang minim bagi pekerja. 

Pelatihan yang benar-benar berdampak harus disesuaikan dengan kebutuhan industri masa depan, terutama yang berbasis teknologi dan ekonomi digital. Jika tidak, program itu hanya menjadi mekanisme seremonial yang tidak membawa manfaat nyata bagi buruh yang terdampak PHK. 

Ada baiknya, pemerintah bekerja sama dengan dunia industri untuk menyediakan pelatihan berbasis keterampilan yang relevan dan langsung menghubungkan peserta dengan peluang kerja baru.

Dengan demikian, dari perspektif ekonomi makro, kebijakan itu juga bisa menjadi instrumen penting dalam mendongkrak daya beli masyarakat. Dalam situasi ekonomi yang tidak menentu, mempertahankan daya beli adalah faktor kunci untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap stabil. 

Dengan adanya skema kompensasi yang lebih baik, konsumsi rumah tangga bisa tetap terjaga sehingga aktivitas ekonomi tidak mengalami kontraksi akibat meningkatnya angka pengangguran. (*)


*) Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publik dan peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship & Leadership.

 

 

Kategori :