Adapun yang menjadi pertimbangan dari dikeluarkannya PP Nomor 6 Tahun 2025 bahwasannya regulasi berkaitan dengan JKP sebagaimana telah diatur dalam PP Nomor 37 Tahun 2021 tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
Dengan begitu, kebijakan baru tersebut berpotensi memantik perdebatan baru di berbagai kalangan. Dengan skema baru yang menjamin pekerja yang terkena PHK menerima 60 persen dari upah selama enam bulan, regulasi itu tampak sebagai angin segar bagi buruh yang selama ini kehilangan posisi tawar mereka akibat implementasi Undang-Undang Cipta Kerja.
Namun, pertanyaannya, apakah kebijakan itu benar-benar menjadi solusi jangka panjang atau sekadar tambal sulam atas persoalan mendasar yang lebih kompleks? Di sisi lain, bagi perusahaan yang hendak melaksanakan kebijakan baru itu berarti akan membebani neraca finansial mereka.
BACA JUGA:Okupansi Hotel di Jatim Kena Imbas Efisiensi Anggaran: Revenue Anjlok 50 Persen, PHK Mengintai
BACA JUGA:Pemkot Surabaya Pilih Efisiensi Anggaran Tanpa PHK Tenaga Kontrak, Ini Alasannya
Pada gilirannya, perusahaan tidak mungkin menanggung tambahan pengeluaran itu dan akan memotongkan dari upah pekerja untuk melaksanakan program JKP. Berarti, para pekerja atau buruh kembali harus menanggung beban kerugian akibat adanya ketentuan baru itu, kecuali pemerintah memberikan bantuan berupa subsidi.
DILEMATIS
Kalau melihat latar belakangnya, sejak UU Cipta Kerja diberlakukan, hak pesangon buruh berkurang signifikan.
Padahal, berdasar aturan sebelumnya, buruh bisa mendapatkan hak pesangon hingga mencapai 32 kali upah dalam UU Ketenagakerjaan. Namun, kini maksimal hanya 19 kali upah, dengan tambahan JKP dari BPJS Ketenagakerjaan yang sebelumnya hanya menjamin 45 persen dari upah dalam tiga bulan pertama dan 25 persen dalam tiga bulan berikutnya.
BACA JUGA:Imbas dari Efisiensi Anggaran, Mendiktisaintek: Uang Kuliah di Perguruan Tinggi Berpotensi Naik
BACA JUGA:Kena Efisiensi Anggaran, MA Sebut Jatah Tunjangan Hakim Tersisa 6 Bulan
Terdapat beberapa keuntungan dan kerugian yang bakal dirasakan para pekerja maupun pengusaha setelah terbitnya aturan tersebut.
Pertama, bagi pekerja, aturan itu sejatinya justru mendatangkan sejumlah keuntungan. Mulai mendapat manfaat uang tunai hingga Rp 3 juta selama enam bulan, informasi pasar kerja, hingga pelatihan kerja yang dapat meningkatkan keahlian para pekerja.
Namun, implementasi aturan itu belum akan sepenuhnya terlaksana efektif lantaran pekerja yang memenuhi syarat untuk mendapat klaim JKP 60 persen dari upah maksimal Rp 5 juta itu saat ini baru sekitar 14–15 persen dari total pekerja formal yang mencapai 50 juta orang.
Kedua, aturan itu juga belum dilaksanakan secara merata lantaran klaim uang tunai 60 persen selama 6 bulan itu hanya berlaku bagi pekerja yang kontrak perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)-nya diputus. Sebaliknya, pekerja yang PKWT-nya habis dan tak diperpanjang tak akan mendapat fasilitas klaim hingga pelatihan kerja.
Ketiga, kalau terjadi perpanjangan masa kontrak dari tiga tahun menjadi lima tahun, jumlah pekerja yang terikat dengan kontrak perjanjian kerja itu makin banyak. Maka, ketika PKWT-nya jatuh tempo, pekerja yang banyak itu tidak berhak mendapat JKP.