Ramadan Kareem 2025 (16): Ramadan dan Rimbawan

Minggu 16-03-2025,05:00 WIB
Reporter : Suparto Wijoyo *)
Editor : Heti Palestina Yunani

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (12): Ramadan dan Ingatan Nareswari

Sampai kapan negara dengan perangkat organisasinya harus menjawab bahwa bencana ini akibat curah hujan yang tinggi dan meluapnya sungai. Bahkan lembaga negara sebagai institusi pusat menuding pemerintah daerah menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas bencana banjir dan tanah longsor.  

Pola kerja menuding harus dipungkasi. Tidak perlu pamer kuasa di depan warga yang tengah “diundi” tertimpa bencana. Daerah dan pusat tidak pantas saling beradu tetapi harus berpikir dan melangkah terpadu dalam kerangka integrated management system penanggulangan bencana.

Bencana yang ada bukan untuk didiskusikan. Situasinya memang alam sedang menggedorkan kesadaran bahwa dalam bernegara, disamping ada daulat rakyat, juga hadir supremasi ekologis.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (11): Puasa Itu Asyik Aja

Alam memberikan pesan berupa bencana akibat dari kelaliman kebijakan yang menistakan lingkungan. Longsor dan banjir adalah akibat saja dari deretan aktivitas manusia yang melanggar batas tolerensi ekologis, sehingga alam menunjukkan eksistensinya guna mengingatkan manusia agar lebih bijak dalam bertindak.  

Dalam setuasi demikian, boleh berpaling pada Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kehadiran aturan ini membawa makna positivistik bahwa negara bertanggung jawab atas terjadinya bencana.

Pemerintah pusat dan daerah diberi otoritas hukum untuk menanggulangi bencana dengan segala alokasi dan distribusi anggaran yang bermanfaat  untuk mengukur kinerja organisasi pemerintahan.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (10): Ramadan dan Daun Sang Mahacinta

Membiarkan alih fungsi lahan dan DAS dalam kondisi kritis adalah tindakan tidak bermoral dan mencederai jiwa terdalam konstitusi.

Pada lingkup inilah, saya teringat  ungkapan diawal tulisan ini sebagai Sabda Raja Hayam Wuruk yang inti ujarannya dengan memperhatikan terjemahan I Ketut Riana (2009).

Bahwa negara dan desa itu ibarat singa dengan hutan, apabila desa rusak, rusaklah negara karena kekurangan pangan, apabila tidak ada tentara yang kuat pasti negara mudah diserang musuh, untuk itulah peliharalah keduanya.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (9): Menghindari Talbis Iblis

Pesan ini sangat fenomenal dalam peradaban ekologis Nusantara yang dalam beragam literatur dan sumber tutur dari para leluhur terbukti bahwa membangun negara harus berpijak pada desa. 

Maka tidaklah berlebihan apabila pada 11 Juli 1945 berlangsung sidang kedua BPUPKI, Muhammad Yamin mengungkapkan bahwa pemerintahan dalam Republik pertama-tama akan tersusun dari badan-badan masyarakat desa dan Pemerintah Pusat akan terbentuk di kota negara.

Antara pemerintah atasan (pusat) dan pemerintah bawahan (desa) itu adalah pemerintah daerah (tengahan). Desa, negeri-negeri, marga-marga dan lainnya tetaplah menjadi kaki Pemerintah Republik Indonesia.

Kategori :