Masjid Rahmat berdiri kokoh di pusat Kota Surabaya. Masjid itu menyimpan memori masa lampau Kota Pahlawan. Masjid itu adalah salah satu masjid peninggalan Sunan Ampel. Bangunan religius itu menjadi cagar budaya yang mencerminkan toleransi warga Surabaya.
BICARA soal sejarah Indonesia, Surabaya menjadi satu kota yang sarat akan legenda. Salah satunya, Masjid Rahmat. Masjid itu berdiri gagah di sudut Jalan Kembang Kuning. Masjid itu seakan memancarkan aura ketenangan dan keagungan. Terlebih di bulan suci Ramadan seperti sekarang ini.
Bangunannya memang baru didirikan pada 1967. Namun, akar sejarah masjid itu sudah tertanam jauh lebih dalam. Sejak masa Sunan Ampel, salah satu Wali Songo. Masjid itu tak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga saksi bisu perjalanan spiritual Sunan Ampel dari istana Majapahit menuju Ampel Denta. “Saat itu Sunan Ampel dalam perjalanan ke Ampel Denta. Karena ia diberi hadiah tanah oleh Raja Majapahit. Kalau dalam Bahasa Jawa: ngampili, diampili. Bahasa Indonesianya, dipinjami,” papar Achmad Muryadi, Imam Besar Masjid Rahmat.
Dalam perjalanan tersebut, Sunan Ampel singgah di hutan lebat yang masih minim perkampungan. Kawasan itu kini menjadi kawasan Kembang Kuning. Dengan semangat dakwah, beliau menanamkan nilai-nilai Islam kepada penduduk setempat. Salah satunya adalah tokoh setempat yang disegani warga sekitar. Namanya Ki Wiroseroyo.
BACA JUGA:Masjid Ikon Surabaya (6): Ajak Musafir Nyantri hingga Beri Beasiswa Pendidikan
BACA JUGA:Masjid Ikon Surabaya (5): Sukses dengan Model Direksi, Kini Buka Cabang di Dua Kota
Saat itu Sunan Ampel melihat masyarakat di daerah Kembang Kuning melakukan hal-hal yang kurang tata adat. Istilah jawanya Molimo, yakni Main (berjudi), Mendem (mabuk-mabukan), Madat (narkoba), Medok (bermain perempuan), dan Maling (mencuri). “Jadi, Sunan Ampel berpikir perlu mendirikan tempat ibadah,” sambung pria berusia 64 tahun itu.
Kemudian Sunan Ampel dan Ki Wiroseroyo bersama-sama mendirikan Langgar Tiban. Artinya, sebuah langgar yang muncul ‘tiba-tiba’ sebagai simbol awal penyebaran Islam di daerah tersebut. Ki Wiroseroyo dikenal pula dengan sebutan sebagai Mbah Karimah. Ia juga memiliki nama lain Ki Bang Kuning.
Makam mertua sunan ampel Mbah Karimah di Jalan Kembang Kuning Surabaya.-Moch Sahirol Layeli-
Makam Mbah Karimah tak jauh dari Masjid Rahmat. Ada di jalan Kembang Kuning atau sebelah barat dari masjid. Di batu nisannya, tertulis bahwa ia adalah mertua Sunan Ampel.
Jadi, saat melakukan perjalanan menuju Ampel Denta, Sunan Ampel sempat bersinggah di kediaman Ki Bang Kuning. Di situlah Raden Rahmat mempersunting Nyai Nimas Kuning, putri Ki Bang Kuning, sebagai istri kedua.
Di samping makam Mbah Karimah, ada musala kecil berdiri. Musala itu menjadi saksi bisu dari banyaknya orang yang datang untuk mengenang, berdoa, dan menggali sejarah penyebaran Islam.
Mbah Karimah menjadi simbol spiritualitas yang terus hidup bagi masyarakat Surabaya.
Kembali ke Langgar Tiban. Seiring berjalannya waktu, Langgar Tiban mengalami pemugaran. Lalu, pada 1967, langgar itu pun resmi berganti nama menjadi Masjid Rahmat.
BACA JUGA:Masjid Ikon Surabaya (4): Wujud Spirit Ekonomi Islam di Masjid Pemuda Indonesia