Ketika biaya lain-lain (THR kepada yang bukan karyawan) dibebankan ke harga jual produk barang atau jasa, harga barang atau jasa produksi jadi mahal berbanding kualitas produk. Masyarakat luas konsumen barang atau jasa itu menanggung beban kemahalan tersebut.
Ketika barang atau jasa itu dijual di pasar dalam negeri, dan bersaing dengan barang atau jasa sejenis produk dalam negeri, harganya tidak kelihatan mahal. Atau tidak terasa mahal. Sebab, perusahaan kompetitor produsen barang atau jasa sejenis tersebut sama-sama: ”Dipalak THR oleh bukan karyawan”. Mereka juga membebankan itu ke harga jual produk.
Namun, ketika produk itu diekspor, hasilnya: Tidak laku di pasar global. Barangnya dinilai jelek, harganya mahal. Kalah saing dengan barang sejenis produksi negara lain yang sungguh-sungguh antikorupsi. Sebab, pengusaha di negara-negara itu tidak dipalak RW minta THR. Jika ada pemalakan, hukumnya tegas. Law enforcement benar-benar tegak.
Law enforcement menghasilkan comparative advantage di pasar global. Sebaliknya, lemahnya law enforcement di suatu negara menghasilkan kekalahan komparatif di pasar global.
Kalau kita tidak ekspor, negara tidak mendapatkan devisa masuk. Sebaliknya, kita selalu impor aneka barang sehingga devisa keluar. Akibatnya, devisa pemerintah mengalami defisit. Negaranya jadi miskin, rakyatnya ikut miskin. Kemiskinan meningkatkan tindak kejahatan. Sebab, kemiskinan adalah ibu dari kejahatan (Marcus Aurelius, 121-180 Masehi, dalam The Roman Emperor).
Ternyata dampak high-cost economy tidak cuma ketika kita ekspor tidak laku. Tidak cuma itu. Di dalam negeri pun barang dan jasa produk kita kalah oleh barang dan jasa produk impor.
Buktinya, meluas pengusaha kita pada mengeluh akibat masuknya (impor) barang-barang produk Tiongkok yang berkualitas tinggi, harganya murah. Jadi… tidak sampai kita ekspor, bahkan di pasar dalam negeri pun produk kita kalah saing dengan produk Tiongkok yang beredar di sini.
Sebab, koruptor di Tiongkok ditembak mati di lapangan terbuka, ditonton publik. Ngeri… Namun, law enforcement menghasilkan comparative advantage. Bahkan, barang Tiongkok menang saing jika dibandingkan dengan barang tuan rumah (produk Indonesia). Bukan bersaing di pasar global, melainkan di sini.
Betapa pun, polisi tidak bisa bertindak terhadap peminta THR yang bukan karyawan. Pengurus RW cuma dimintai keterangan. Lantas, diserahkan ke lurah dan camat. Tidak ada pasal pelanggaran hukumnya. Yang menyebutkan ”peminta THR melanggar hukum”, tidak ada.
Dari sini sebenarnya sudah adil jika mayoritas masyarakat Indonesia sekarang rerata miskin. Membeli barang terlalu mahal akibat high-cost economy. Ekspor kalah karena tidak punya comparative advantage.
Sebab, antara lain, RW minta THR.
Namun, bukankah pengurus RW juga anggota masyarakat Indonesia? Mereka dapat penghasilan tambahan dari situ. Sudah dapat gaji dan THR dari perusahaan tempat mereka bekerja, plus THR lagi dari situ. Tidak bisa disebut miskin.
So… Kemiskinan cuma berlaku buat mereka yang tidak punya daya untuk menyerbu. Dalam arti bergerak dengan segala cara, memanfaatkan celah hukum, demi mendapatkan duit. (*)