Oleh: Suko Widodo, Dosen Departemen Komunikasi, FISIP, Universitas Airlangga.--
TRIWULAN pertama tahun 2025, Indonesia diliputi gejolak sosial yang semakin intens. Demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya semakin marak di berbagai kota besar. Aksi-aksi ini sebagai respom terhadap sejumlah kebijakan pemerintah yang dinilai kurang berpihak kepada kepentingan rakyat kecil, serta adanya sejumlah tindakan dan cara berkomunikasi aparat yang kurang elok. Karena dinilai tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Kesulitan ekonomi rakyat, dugaan pemangkasan anggaran pendidikan, hingga fenomena maraknya korupsi, menjadi titik fokus protes tersebut. Kaum intelektual, yang dimotori mahasiswa pun ikut merasakan kekesalan akibat kesulitan rakyat menghadapi kehidupan. Dalam situasi tersebut, mahasiswa sebagai kelompok yang paling berani bersuara turun ke jalan, menuntut kebijakan agar berpihak pada masyarakat miskin. Mahasiswa tampaknya tidak hanya merasa tidak didengar, tetapi juga melihat bahwa banyak kebijakan yang justru memperburuk keadaan, bukan memperbaikinya.
Yang lebih menyakitkan dirasakan adalah ketika kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan tindakan aparat negara, yang seharusnya melindungi rakyat, justru sering kali menunjukkan sikap yang arogan dan tidak didengarkan. Inilah yang menyebabkan ketegangan sosial yang semakin memuncak. Namun, apakah semua ini bisa diubah? Apakah ada jalan keluar yang bisa menyatukan kembali bangsa ini dalam keadaan yang penuh tantangan ini?
BACA JUGA:Cak Nun Dikabarkan Pendarahan Otak, Suko Widodo: Kita Doakan, Nggih
BACA JUGA:Spaghetti Bolognese, Cita Rasa Kreasi Mahasiswa Manajemen Perhotelan Unair
Krisis Multi-Dimensi
Krisis yang dihadapi Indonesia saat ini bukan hanya krisis ekonomi semata, melainkan krisis multidimensi yang meliputi sektor sosial dan politik. Krisis ekonomi terlihat jelas dalam lemahnya nilai tukar rupiah, yang semakin tertekan terhadap dolar Amerika Serikat, serta ketidakstabilan di pasar saham yang menyebabkan banyak orang kehilangan investasi mereka. Sektor pendidikan yang selama ini menjadi pilar penting untuk membangun masa depan bangsa, juga terancam dengan pemangkasan anggaran yang berimbas pada kualitas pengajaran dan penelitian. Di sisi lain, terdapat kecurigaan besar terhadap kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis besar dan korporasi.
Korupsi yang marak dan tidak ada tindakan nyata untuk menindak pelaku-pelaku besar semakin memperburuk situasi. Rakyat merasa kehilangan kepercayaan pada aparat yang seharusnya menjalankan tugas dengan jujur dan adil. Ketidakpuasan ini bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal rasa keadilan yang terabaikan. Pemerintah yang sering kali terkesan jauh dari rakyat, ditambah dengan komunikasi yang buruk antara pejabat negara dan masyarakat, membuat situasi semakin tidak terkendali.
Rumor politik dan ketidakpuasan ini bisa berkembang menjadi krisis sosial yang terus berlanjut dan bahkan semakin parah. Oleh karena itu, penting bagi para penguasa untuk memahami bahwa keadaan yang mereka hadapi saat ini bukan hanya krisis ekonomi, tetapi juga krisis kepercayaan dan krisis sosial yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
Empati dan Komunikasi yang Konstruktif
Di tengah situasi kesimpangsiuran informasi, ketiadaan saling percaya dan mengarah pada situasi krisis, kita harus berpikir lebih jauh tentang bagaimana menyelesaikan masalah ini dengan cara yang bijak. Pemerintah semestinya pemegang amanat rakyat harus mengutamakan pendekatan komunikasi yang penuh empati dalam menghadapi permasalahan ini. Sebagai pihak yang berkuasa, mereka tidak hanya harus mendengarkan, tetapi juga memahami perasaan rakyat yang terhimpit oleh beban ekonomi yang semakin berat. Empati dalam kepemimpinan adalah kunci untuk memulihkan hubungan yang terganggu antara penguasa dan rakyat.
Demikian juga, perlu dibangun ruang komunikasi terbukam kesabaran dan kejujuran dalam menghadapi ketegangan sosial. Tidak hanya dengan berbicara, tetapi dengan mendengarkan dengan hati yang terbuka. Rakyat butuh penguasa yang bisa memahami perasaan mereka, yang bisa merasakan apa yang mereka alami, dan yang tidak hanya mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok semata.
BACA JUGA:SNBP Unair 2025: Hanya 8,37% yang Lolos, Perempuan Mendominasi! Ini 10 Prodi Terfavorit
BACA JUGA:Tiga Kandidat Berebut Kursi Rektor Unair, Adu Gagasan demi Masa Depan Kampus
Mengabaikan suara rakyat, apalagi dengan sikap arogan, hanya akan semakin memperburuk keadaan. Dalam hal ini, komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat dapat menciptakan saling pengertian, yang akhirnya membuka ruang bagi solusi yang lebih adil. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Perlu diciptakan ruang dialog yang efektif, di mana suara rakyat didengar dan dipertimbangkan dalam setiap kebijakan yang dibuat.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Albert Einstein, “We cannot solve our problems with the same thinking we used when we created them.” Kita tidak bisa menyelesaikan masalah dengan cara berpikir yang sama dengan yang menyebabkan masalah tersebut. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk berpikir lebih terbuka, berani mengakui kesalahan, dan bersama-sama mencari jalan keluar yang adil dan bijaksana. Tidak hanya sekadar mengutamakan politik kekuasaan, tetapi juga mementingkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama.