EKSPEKTASI SOSIAL MUDIK
Lebaran selalu identik dengan mudik. Kata Lebaran meluruhkan jarak dan waktu, memanggil jutaan jiwa untuk pulang. Tapi, sesungguhnya, kita pulang ke mana?
Raga mungkin menjejak kembali ke kampung halaman, ke rumah masa kecil yang menyimpan aroma kenangan, ke peluk orang tua yang tak pernah berubah meski dunia terus berganti. Namun, hati sering kali tertinggal, di layar pekerjaan yang tak kunjung redup, dan di gawai yang tak lepas dari genggaman.
Mudik, yang dahulu semacam ziarah batin, kini kerap terasa seperti tugas sosial. Kemacetan panjang menjadi ujian kesabaran, harga tiket seakan menakar kerinduan, dan ekspektasi keluarga melingkari langkah kita.
Kadang, yang kita bawa bukan rindu, melainkan kewajiban. Kadang, kita tiba bukan dengan bahagia, melainkan dengan letih yang disembunyikan di balik senyum.
Padahal, Idulfitri bukan sekadar kembali ke rumah, tapi pulang ke dalam diri. Setelah Ramadan yang menggembleng jiwa, menahan lapar, meredam ego, menepi dari riuh dunia,
Lebaran seharusnya menjadi ruang jeda dan puncak refleksi. Tempat kita bertanya pelan, sudahkah aku benar-benar pulang? Sudahkah hati ini bersih? Sudahkah kita benar-benar memaafkan dengan ikhlas?
Imam Al-Ghazali pernah menulis sekitar 489 H atau 1095 M dalam kitab Ihya’ ’Ulummuddin, bahwa hakikat Idulfitri adalah kembali kepada fitrah, kepada kejernihan hati, dan kelapangan jiwa.
Bukan soal meja makan yang melimpah dengan aneka kuliner atau baju baru yang seragam. Melainkan, tentang ruang di dada yang terbuka bagi maaf, tentang pikiran yang tenang, tentang kasih yang tumbuh dari kesadaran akan kefanaan.
Maka, ketika langkahmu menyentuh tanah kelahiran, biarlah itu juga menjadi pijakan untuk menyentuh nurani. Pulanglah tak hanya untuk bertemu orang lain, tapi juga untuk menjumpai dirimu sendiri yang lebih jernih dan lebih utuh.
KEMBALI KE ESENSI LEBARAN SEJATI
Paradoks Lebaran ini tak perlu disesali, tetapi disadari. Agar kita tak terus larut dalam gemerlap yang membutakan, tetapi mampu menyelam ke dalam makna yang mendalam. Supaya Lebaran tak hanya menjadi formalitas sosial, tetapi momentum spiritual yang menggugah.
Kita tak harus menolak teknologi. Kita boleh memanfaatkan teknologi, tetapi jangan biarkan teknologi memiskinkan rasa. Kita hanya perlu menundukkannya agar ia tetap menjadi alat, bukan tuan.
Kirimlah pesan yang tulus meski hanya kepada segelintir orang. Ucapkanlah dari hati, bukan dari template. Datangi mereka yang mungkin menunggu, bukan hanya yang paling mudah dijangkau.
Sejatinya, yang membuat Lebaran berkesan bukan jumlah pesan yang masuk, melainkan kedalaman makna yang terjalin. Yang abadi bukan foto keluarga berseragam, melainkan salaman dan pelukan yang menyembuhkan luka.
Dan, yang fitri bukan hanya pakaian bersih, melainkan jiwa yang telah berdamai dengan masa lalu.