Civilphobia, Mengenal Fenomena Takut Kritik di Era Demokrasi

Kamis 10-04-2025,11:00 WIB
Reporter : Anisatun Aqluna Marozah*
Editor : Guruh Dimas Nugraha

Alih-alih melihat kritik sebagai evaluasi terhadap kebijakan atau tindakan, mereka menganggapnya sebagai serangan personal yang harus dilawan habis-habisan.

4. Ketidakmampuan Membedakan Kritik Konstruktif dan Serangan

Bagi yang mengalami civilphobia, semua bentuk kritik terdengar sama: menyerang, merusak, bahkan dianggap sebagai upaya makar. Tidak ada ruang untuk membedakan mana kritik yang membangun dan mana yang sekadar provokasi.

BACA JUGA:Demokrasi Inklusif Pasca Penghapusan Presidential Threshold

5. Munculnya Pola Ketidakpercayaan pada Masyarakat 

Civilphobia juga sering disertai dengan anggapan bahwa masyarakat tidak tahu apa-apa, terprovokasi, atau tidak mengerti situasi sebenarnya. Sehingga semua aspirasi rakyat dianggap tidak valid.

Apakah Civilphobia Berbahaya?

Dalam sistem demokrasi yang sehat, kritik adalah bahan bakar utama untuk perbaikan. Tanpa kritik, kekuasaan bisa berjalan tanpa kontrol. Kebijakan bisa melenceng dari kebutuhan rakyat. Dan pada akhirnya kepercayaan publik akan runtuh. 

Civilphobia merusak keseimbangan itu. Ia menciptakan jurang antara penguasa dan rakyat, dan mempersempit ruang diskusi, serta dapat menumbuhkan budaya untuk takut berpendapat.

BACA JUGA:Generasi Muda dan Tantangan Demokrasi Digital di Indonesia

Mau diakui atau tidak, civilphobia adalah cermin ketidakdewasaan dalam berdemokrasi. Demokrasi sejati butuh nyali. Nyali untuk mendengar, menerima, dan memperbaiki diri lewat kritik.

Karena pada akhirnya, suara rakyat bukanlah ancaman. Ia adalah napas kehidupan demokrasi itu sendiri. (*)

 *) Mahasiswa magang dari Prodi Sastra Inggris, Universitas Trunojoyo Madura.

Kategori :