Merawat Bahasa Daerah, Menjaga Identitas

Kamis 17-04-2025,20:44 WIB
Oleh: I.G.A.K. Satrya Wibawa*

Eksistensi bahasa ibu itu terancam oleh jumlah penutur yang makin berkurang sebagai konsekuekuensi dari paradoks ekosistem bahasa sendiri. Yaitu, dominasi bahasa Indonesia sebagai pemersatu, tekanan bahasa Inggris sebagai ”bahasa global”, dan revolusi teknologi yang mengubah cara manusia berinteraksi.

Berkurangnya jumlah penutur bahasa ibu beriringan dengan pertumbuhan jumlah usia muda pada struktur demografi Indonesia. Data BPS 2023 menunjukkan, 87 persen penutur bahasa ibu adalah dari generasi pra-boomer yang lahir sebelum 1945.

Urbanisasi dan pergeseran demografi mempercepat krisis tersebut. Di Jawa Barat, bahasa Sunda juga dalam 10 tahun terakhir, 2 juta dari 48 juta penuturnya hilang.

Fishman (1991) menjelaskan bagaimana komunitas atau penutur meninggalkan bahasa ibu karena beragam faktor seperti ekonomi, politik, dan perubahan sosial. 

Di Maluku, bahasa Kayeli yang pernah memiliki 10 ribu penutur pada 1950-an kini hanya tersisa 1, itupun tidak tinggal di desa kayeli, sementara di desa tersebut, sudah tidak ada lagi penutur bahasa Kayeli. 

Sementara itu, di Sulawesi Tengah, bahasa Balantak kehilangan 90 persen penutur dalam tiga dekade terakhir akibat urbanisasi. 

Turunnya jumlah penutur itu harus diakui juga sebagai konsekuensi paradoks ekosistem bahasa. 

Pertama, kebijakan multibahasa dalam satu negara memang menjadi dilema. Sebagai bahasa pemersatu, bahasa Indonesia adalah keberhasilan politik kebahasaan yang langka. Bahasa Indonesia berperan sebagai imagined community yang menyatukan keragaman etnis. 

Namun, dalam praktiknya, hegemoni bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional justru meminggirkan bahasa daerah. Di Singkawang, misalnya, kemahiran berbahasa Indonesia pada siswa SD di Singkawang mencapai 96 persen, sedangkan bahasa daerah hanya 13 persen. 

Penggunaan bahasa nasional sebagai konsep pemersatu mengakibatkan bahasa Indonesia mendominasi ranah formal seperti pendidikan, pemerintahan, perdagangan. Sementara itu, bahasa daerah tereliminasi pada ranah privat, terbatas pada relasi keluarga dan sistem budaya lokal.

Kedua, ekosistem global memperkuat posisi bahasa Inggris sebagai lingua franca dunia. Globalisasi dan hilangnya batas antarnegara memerlukan bahasa pengantar yang dapat menjembatani persoalan komunikasi. 

Migrasi sementara melalui jenjang pendidikan pun memerlukan kecakapan berbahasa Inggris, bahkan institusi pendidikan di Indonesia pun menawarkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sebagai bagian dari nilai tawar sekolah tersebut. 

Bahkan, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pun tidak luput dari abrasi bahasa itu dengan melihat fenomena bahasa ”Jaksel” yang mencampurkan kosakata bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.

Faktor ketiga, revolusi teknologi makin memperparah ketimpangan itu. Algoritma kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT atau Google Translate didominasi bahasa mayoritas¬ –92 persen dataset AI global berasal dari bahasa Inggris, Mandarin, dan Spanyol. 

Bahasa minoritas seperti bahasa-bahasa daerah di Indonesia, dengan jumlah penutur dan vitalits terbatas, tentu saja tidak terdeteksi dalam ekosistem tersebut. Sementara itu, mayoritas penutur muda (gen Z dan gen alpha), hidup mereka ada pada eksosistem digital. 

Konsekuensi paradoks kebahasaan itu memang tidak mudah bagi upaya pelestarian bahasa ibu di Indonesia. Untuk mengatasi krisis tersebut, pendekatan multidimensi diperlukan karena ekosistem kebahasaan melibatkan lintas sektoral. 

Kategori :