BACA JUGA:5 Sikap RA Kartini yang Bisa Diteladani dan Diterapkan dalam Keseharian
Lebih jauh, dekolonisasi visual menuntut kita mengkritisi bagaimana tubuh perempuan –terutama tubuh perempuan pribumi– telah lama dikonstruksikan dalam sistem visual kolonial.
Dalam potret-potret era kolonial, perempuan sering kali digambarkan dalam pose yang ditentukan: duduk rapi, tersenyum halus, rambut ditata, dan tubuh dibalut kebaya atau kain yang menggambarkan moralitas dan keteraturan.
Gaya, gestur, bahkan pandangan mata mereka ditentukan oleh narasi dominan tentang kesopanan, keindahan, dan kontrol. Potret menjadi alat untuk mengatur tubuh, bukan merayakan keberagaman ekspresi perempuan.
BACA JUGA:Sejarah dan Makna Peringatan Hari Kartini 21 April, Bukan Semata Pakai Kebaya
BACA JUGA:Lirik dan Makna Lagu Ibu Kita Kartini Ciptaan W.R Supratman
DEKOLONISASI GENDER VISUAL
Kartini adalah satu di antara sangat sedikit perempuan pribumi yang diberi ruang untuk bersuara melalui tulisan dan diabadikan melalui potret. Namun, bagaimana dengan ribuan perempuan lain sezamannya –petani, buruh, pedagang, babu, pelayan, istri– yang tak punya akses pada pena dan kamera?
Di sinilah pemikiran Gayatri Chakravorty Spivak dalam esai Can the Subaltern Speak? menjadi relevan. Spivak menunjukkan bahwa kelompok terpinggirkan –subaltern– sering kali tak terdengar bukan karena tak ingin berbicara, melainkan karena sistem representasi yang dominan tak memberikan ruang bagi bahasa dan cara bicara mereka.
Potret Kartini, dalam konteks ini, adalah simbol ambivalen: dia membuka jalan bagi narasi perempuan, tetapi juga mengaburkan kenyataan bahwa narasi tersebut lahir dari ruang sempit yang dipilihkan kolonialisme.
Dekolonisasi visual bukan hanya tentang memberikan sorotan kepada Kartini, melainkan juga tentang menghadirkan suara-suara perempuan lain yang tak terpotret, tak tertulis, dan tak tercatat.
Hari ini, saat kamera ada di genggaman hampir semua orang, budaya visual makin terbuka. Namun, apakah keterbukaan itu otomatis menghadirkan keadilan representasi? Ataukah kita hanya mengganti ”bingkai”, sementara cara pandangnya tetap kolonial?
Dekolonisasi tidak sekadar mengganti gambar, tetapi juga menggeser cara kita melihat dan siapa yang kita beri ruang untuk dilihat. Itu berarti mengisi ulang ingatan kolektif kita dengan lebih banyak wajah, suara, dan cerita dari latar yang selama ini tersembunyi dari kamera dan sejarah.
DARI KARTINI UNTUK KITA SEMUA
Memperingati Hari Kartini tak cukup dengan mengenakan kebaya atau membagikan potret lawasnya di media sosial. Kita perlu membaca ulang makna visual dan politik dari potret itu.
Jalan yang dibuka Kartini belum selesai dibangun. Representasi perempuan harus terus diperluas, diperkaya, dan didekolonisasi agar makin banyak suara perempuan bisa hadir dan dihargai.