Hari Buruh, Pendidikan, dan Tubuh Perempuan di Tengah Krisis Moral

Kamis 01-05-2025,06:00 WIB
Reporter : Fileski Walidha Tanjung*
Editor : Heti Palestina Yunani

Perempuan Aceh yang terjerumus dalam praktik Open BO pun tak lahir dari kehendak bebasnya, melainkan dari sistem yang menjadikan mereka demikian: dibatasi, diawasi, namun tak diberdayakan.

BACA JUGA: Tantangan Etika dan Identitas dalam Pendidikan

Ketika syariat hanya menjadi simbol kontrol, bukan alat emansipasi, maka ia gagal menjadi pelindung. Alih-alih membebaskan, syariat justru bisa menjadi kekerasan simbolik jika tidak dibarengi dengan perlindungan ekonomi dan pendidikan.

Lebih tragis lagi, kita hidup di zaman “pamer kebahagiaan” digital. Flexing menjadi norma sosial baru, diperkuat oleh algoritma media sosial yang menyanjung kemewahan dan membungkam kesederhanaan.

Betapa banyak konten memperlihatkan rumah mewah, mobil sport, tas branded, dan kehidupan penuh leisure, seolah-olah itulah ukuran keberhasilan hidup. Generasi muda tak lagi mengukur hidup dari etika kerja keras, tapi dari estetika pamer.

BACA JUGA: Kekerasan Seksual terhadap Perempuan: Suara yang Sering Dibungkam

Tak mengherankan, jika akhirnya banyak yang memilih jalan pintas: menjual tubuh di dunia maya demi ilusi kemewahan yang dibentuk oleh dunia digital.

Tak banyak negara yang tegas terhadap budaya flexing, namun beberapa mulai mengambil sikap. Cina, misalnya, sudah memblokir konten flexing berlebihan karena dinilai merusak moral generasi muda dan menciptakan tekanan sosial yang tak sehat.

Qatar dan Uni Emirat Arab pun menerapkan batasan ketat terhadap konten media sosial yang dianggap mempertontonkan kekayaan secara tidak etis.

BACA JUGA: Makna Emansipasi dan Peran Kartini Menurut Gen Z, Masihkah Penting?


Flexing menjadi norma sosial baru, diperkuat oleh algoritma yang menyanjung kemewahan dan membungkam kesederhanaan.--Pexels

Mungkin inilah saatnya Indonesia juga mempertimbangkan hal serupa, bukan sebagai bentuk represi, tetapi sebagai perlindungan terhadap generasi yang sedang terseret oleh ilusi gaya hidup yang tidak berakar pada kerja keras dan kejujuran.

Masalahnya bukan hanya pada moral pribadi, tetapi pada struktur sosial yang gagal memberikan alternatif. Jika kehidupan halal dan bermartabat tidak tersedia secara nyata, maka segala bentuk nasihat religius hanya menjadi gema kosong di telinga yang lapar.

Di sinilah pentingnya pendidikan, bukan sekadar sebagai ritual formal sekolah, tapi sebagai sarana membentuk nalar kritis, keterampilan kerja, dan daya tahan mental menghadapi tekanan zaman.

BACA JUGA: Edukasi Sejak Dini, Kunci Mencegah Kekerasan Seksual

Antonio Gramsci pernah menulis tentang pentingnya hegemoni kultural—dominasi ideologis yang tidak dilakukan dengan paksaan, tapi dengan menciptakan konsensus sosial.

Kategori :