Dan kita bertanya-tanya, mengapa banyak anak muda hari ini permisif, pragmatis, tidak punya idealisme?
Jawabannya mungkin tidak jauh. Mereka tumbuh dalam sistem yang mengajarkan bahwa nilai bisa dibeli, ketulusan bisa dinegosiasi, dan pengetahuan hanyalah formalitas. Bahwa benar dan salah tergantung siapa yang membayar.
Lalu apa kabar guru?
Dulu ia digugu dan ditiru.
Hari ini? Banyak yang jadi penjaga sistem, bukan penantangnya. Banyak yang lebih sibuk menjaga kedekatan dengan kekuasaan ketimbang mendampingi siswa yang kebingungan. Banyak yang lebih giat memoles portofolio jabatan ketimbang merawat nurani.
Sekolah tidak lagi menjadi tempat membahagiakan, karena anak-anak belajar hanya untuk menghindari hukuman.
Dengan demikian, kita sedang menggali kubur peradaban kita sendiri.
Kita sering mengajarkan etika dari buku teks, tapi gagal mempraktikkannya di ruang guru. Kita bicara moralitas di kelas agama, tapi menerima parcel di ruang kepala sekolah. Kita bicara integritas di seminar, tapi menutup mata pada plagiarisme di jurnal internal kampus.
BACA JUGA: Tantangan Etika dan Identitas dalam Pendidikan
Jadi, mari kita bertanya jujur di Hari Pendidikan Nasional ini:
Apakah kita sedang membentuk generasi yang kritis, merdeka, dan beretika?
Atau justru sedang mencetak anak-anak yang permisif, matrealis, dan pragmatis sejak dini?
Selamat Hari Pendidikan Nasional.
Untuk mereka yang masih mengajar dengan nurani, yang tidak tergoda menjual ilmu demi pangkat atau parcel.
Sisanya? Biar sejarah yang menilai, dan anak-anak kita yang mewarisi kerusakan ini. (*)