Hardiknas: Saat Pendidikan Menjadi Panggung Kemunafikan

Jumat 02-05-2025,12:04 WIB
Oleh: Menur Kusuma*

HARIAN DISWAY - Setiap 2 Mei, kita rutin memperingati Hari Pendidikan Nasional dengan gempita. Spanduk digelar, pidato dibacakan, dan jargon lama dikutip ulang:

“Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani."

Tapi, mari kita jujur. Seberapa relevan lagi warisan Ki Hadjar Dewantara itu dalam praktik pendidikan kita hari ini? Apa makna peringatan ini jika wajah pendidikan kita lebih mirip pasar transaksional ketimbang ruang pembebasan? Jika guru kehilangan marwah, siswa kehilangan semangat, dan lembaga pendidikan kehilangan jiwa?

BACA JUGA: Hari Pendidikan dan Kesadaran Kasta: Mencari Letak Jati Diri

Dalam Pasal 31 UUD 1945 disebutkan bahwa pendidikan (bukan sekadar pengajaran) adalah hak setiap warga negara. Pendidikan seharusnya memberi tulodho dan tidak menciptakan suasana takut—takut salah, takut berbuat, minder bertanya, dan dicekam kecemasan.

Guru bukan dewa yang selalu benar. Guru adalah manusia biasa yang serba salah. Tapi dia wajib mengarahkan jalan yang benar—bukan sekadar memberikan tugas yang benar. Karena tugas yang benar bisa diselesaikan dengan mencontek, asal-asalan, atau asal orang tua dan guru senang.

Pendidikan seharusnya menjadi tempat di mana anak bahagia saat belajar. Ya, bahagia! Mengetahui banyak hal yang dia belum tahu, dalam suasana yang menyenangkan. Pendidikan tidak boleh menciptakan momok: Telat—hukum. Salah—hukum. Tidak bisa mengerjakan—hukum. Sekolah harus menjadi tempat penemuan makna, bukan ruang penghakiman.

BACA JUGA: Refleksi Hari Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara dan Hak Rakyat atas Pendidikan

Kita ribut soal tata krama yang dilanggar sesaat guru memasuki kelas: telat datang, telat memberi salam, rambut panjang, baju tidak dimasukkan, kaos kaki tidak berlogo sekolah. Kita heboh bicara etika, tapi tutup mata terhadap birokrasi yang memalak siswa setiap jelang ujian. SPP terlambat, denda, syarat formal—semuanya menumpuk jadi beban. Sistem ini tidak etis, tapi kita biarkan.

Saya sepakat dengan M. Fatkhur Rozi, dosen UIN Malang yang juga anak dari pendiri Ponpes Nurul Huda, Singosari, Malang. Beliau mengatakan, “Pendidikan itu harusnya murah, bahkan gratis. Abah saya tidak pernah menanyakan apakah santri sudah bayar SPP atau belum. Apalagi sampai harus mengeluarkan mereka gara-gara administrasi.”

Ucapan ini bukan hanya reflektif, tapi tamparan keras bagi institusi pendidikan yang menjadikan uang sebagai ukuran kelulusan dan keabsahan.

BACA JUGA: Hari Buruh, Pendidikan, dan Tubuh Perempuan di Tengah Krisis Moral


Guru semestinya penuntun jalan, bukan penguasa di ruang kelas, mereka membimbing dan bukan menghukum.--Studio Indonesia

Lalu, mari kita bertanya:

Apakah ada yang salah dengan pendidikan kita?

Kategori :