Hari Pendidikan dan Kesadaran Kasta: Mencari Letak Jati Diri

Jika semua ingin menjadi kaya dan populer, siapa yang tersisa untuk menjaga cahaya pengetahuan?--Vimaliss
HARIAN DISWAY - Hari itu, saya bukan hanya sedang mengajar seni budaya di sebuah kelas, tetapi juga sedang berhadapan dengan satu dari sekian banyak pertanyaan mendasar yang terus bergema dalam dunia pendidikan: untuk apa kita bersekolah, jika pada akhirnya yang dianggap berhasil adalah mereka yang memiliki banyak harta kekayaan?
Aldiano, seorang siswa saya, menyuarakan kegelisahan yang sesungguhnya dimiliki banyak anak muda hari ini. Dengan keberanian khas remaja yang belum terpolusi penuh oleh konformitas sosial, ia bertanya, mengapa guru yang ilmunya tinggi tidak hidup sekaya para selebriti dan pengusaha?
Pertanyaan itu, yang dalam struktur masyarakat modern tampak banal, sejatinya menyentuh lapisan terdalam dari persoalan nilai, identitas, dan jati diri bangsa.
BACA JUGA: Tantangan Etika dan Identitas dalam Pendidikan
Di sinilah saya mulai membawa kelas ke dalam ruang kontemplasi budaya, bukan sekadar untuk menjawab keingintahuan Aldiano, tetapi untuk menggugah kesadaran tentang siapa kita dalam lanskap peradaban yang kian kehilangan arah dalam mengukur makna hidup dan keberhasilan.
Saya jelaskan kepada mereka tentang sistem kasta pada awal peradaban—brahmana, ksatria, waisya, dan sudra—bukan sebagai legitimasi diskriminasi sosial, melainkan sebagai lensa metaforis untuk membaca kesadaran manusia.
Di masa ketika sistem ini lahir, kasta bukanlah warisan darah, tapi pencerminan dari tingkat kesadaran spiritual dan sosial. Seorang sudra bukan karena miskin, melainkan karena sejak bangun tidur dan tidur lagi, hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri.
BACA JUGA: Merawat Pendidikan Sastra di Tengah Gempuran Dunia Industri
Seorang waisya bukan karena mereka berdagang, tetapi karena pikirannya hanya memikirkan kepentingan kelompok dan keluarganya. Seorang ksatria mengabdi untuk kemaslahatan masyarakat dan keadilan sosial bagi rakyatnya.
Sedangkan seorang brahmana—guru, akademisi, dan pengajar, pendeta, ulama—sejatinya mereka hanya menghidupi kehidupan demi pengabdian pada ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, tanpa ambisi kekayaan, jabatan, dan kekuasaan.
Di tengah kegaduhan dunia modern yang menjadikan kekayaan sebagai tolok ukur keberhasilan tunggal, kesadaran tentang struktur batin seperti ini telah hilang. Seorang raja haruslah juga seorang filsuf sekaligus ksatria.
BACA JUGA: Tema dan Logo Hardiknas 2025 serta Sejarah Perjuangan Ki Hajar Dewantara di Dunia Pendidikan
Ketika pendidikan kehilangan arah dan guru dianggap gagal karena hidup sederhana, kita harus bertanya: apa arti keberhasilan yang sebenarnya?-Odua Images-
Plato dalam Republic mengingatkan bahwa kehancuran negara dimulai ketika para pedagang (waisya) mengambil alih peran para filsuf dan penjaga (ksatria). “Jika para filsuf tidak menjadi raja, atau para raja tidak sungguh-sungguh memfilosofikan hidup, maka bencana adalah kepastian.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: