TIGA ORANG ini menjadi triumvirat kecil di Surabaya. Eri Cahyadi, wali kota; Armuji, wakil wali kota; dan Dominikus Adi Sutarwijono alias Awi, ketua DPRD sekaligus ketua PDIP Surabaya.
Tiga triumvirat kecil itu merupakan produk PDIP Surabaya. Armuji dan Awi merupakan kader asli, sedangkan Eri Cahyadi adalah kader mualaf, baru masuk PDIP pada kontestasi Pilwali Surabaya 2019.
Sekarang triumvirat kecil itu bubrah. Awi dipecat dari jabatannya sebagai ketua PDIP Surabaya. Jabatannya sebagai ketua DPRD untuk sementara masih aman. Namun, harus siap-siap setiap saat bisa melayang.
Awi dan gengnya di PDIP Surabaya dipecat karena dianggap gagal menjaga soliditas partai yang mengakibatkan kinerja merosot. Salah satu indikatornya adalah penurunan perolehan kursi DPRD Surabaya yang melorot dari 15 kursi menjadi 11 kursi.
Selain itu, ada banyak alasan organisatoris yang mengakibatkan organisasi tidak berjalan efektif. Ada masalah komunikasi organisasi yang dianggap tidak berjalan baik. Selain itu, ada masalah pengelolaan keuangan.
Alasan-alasan tersebut tentu saja bersifat subjektif dan bisa diperdebatkan. Yang jelas, Awi telah menjadi korban dari pertarungan antarfaksi di internal PDIP. Pertarungan itu sudah berlangsung lama dan masih terus berlangsung di balik kandang.
Faksi Armuji pernah terlibat perseteruan keras dengan faksi almarhum Whisnu Sakti Buana. Ketika itu, Armuji menjadi ketua PDIP Surabaya dan Whisnu menjadi wakil wali kota di bawah Tri Rismaharini.
Menjelang pemilihan wali kota 2020, dua kubu itu bersaing keras. Kursi wali kota yang lowong ditinggalkan Risma menjadi rebutan dua kader PDIP tersebut. Whisnu berambisi utuk mendapatkan rekomendasi dari DPP PDIP supaya bisa maju menjadi calon wali kota.
Risma punya plot lain. Dia tidak menghendaki Whisnu sebagai penggantinya dan diam-diam menyodorkan Eri Cahyadi yang sudah disiapkan menjadi protege-nya. Di tengah persaingan sengit itu, Armuji membuat manuver ”politik melipir” dengan merapat ke Risma.
Whisnu harus menelan pil pahit karena Megawati Soekarnoputri lebih percaya kepada Risma ketimbang Whisnu. PDIP memilih Eri Cahyadi sebagai calon wali kota. Armuji mendapatkan durian runtuh menjadi calon wakil wali kota mendampingi Eri.
Pasangan Eri-Armuji dengan mudah mengalahkan pasangan Machfud Arifin-Mujiaman yang didukung delapan partai koalisi. Kemenangan itu bukan cermin kemenangan PDIP, melainkan lebih sebagai kemenangan Risma. Sebab, ”Risma Factor” masih sangat kuat di Surabaya.
Kubu Whisnu tersingkir, kubu Armuji berkibar. Namun, kubu Whisnu masih kebagian jatah di DPRD karena banyak kader binaan Whisnu yang menjadi anggota dewan. Penunjukan Awi sebagai ketua DPRD bisa menjadi pelipur lara bagi kubu Whisnu.
Pada pilwali 2024, keadaan berbalik. Jika sebelumnya Eri-Armuji dikeroyok koalisi delapan partai, kali ini pasangan Eri-Armuji ”seng ada lawan”, hanya menghadapi bumbung kosong, karena semua parpol dapat diringkus menjadi satu. Eri-Armuji menang mutlak.
Eri makin pintar setelah berpengalaman lima tahun. ”Risma Factor” sudah tidak signifikan. Eri mulai berani ”mbalelo” terhadap Risma. Bahkan, Eri terkesan main dua kaki ketika Risma maju di kontestasi Pilgub 2024 melawan Khofifah.
Eri-Armuji tetap ber-Sinerji, seperti tagline kampanye mereka. Tapi, hubungan kedua orang itu ”hangat-hangat tahi ayam”. Armuji tahu bahwa posisi wakil wali kota hanya ban serep.