Pemakzulan Wapres dan Kasus Ijazah Jokowi: Sebuah Psikologi Politik

Rabu 14-05-2025,04:33 WIB
Oleh: Galang Geraldy

Memunculkan wacana di atas adalah sebagai sebuah upaya penyembuhan terhadap kondisi demokrasi yang memburuk, ”mengembalikan kendali” atas politik Indonesia yang kini dirasa telah dikuasai relasi politik dinasti maupun oligarki. 

Demokrasi harus menyediakan ruang katarsis politik, yaitu keterbukaan ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan kekecewaan mereka, baik melalui forum publik, media independen, jalur hukum, maupun gerakan sosial. 

Ketika suara-suara kekecewaan itu direpresi atau dicap sebagai ”antidemokrasi”, luka itu justru makin dalam. Meski demokrasi pun tidak harus mengamini semua tuntutan (seperti pemakzulan tanpa dasar hukum), tapi harus mendengar dan mengakomodasi proses ekspresif rakyatnya. 

Prinsipnya adalah seperti yang disampaikan Juergen Habermas dalam Between Facts and Norms (1996), yakni legitimasi demokrasi hanya mungkin tercapai bila keputusan politik lahir dari komunikasi yang rasional, terbuka, dan inklusif. 

Dengan kata lain, demokrasi tidak boleh menutup ruang diskusi hanya karena kritik dianggap mengganggu stabilitas.

Wacana pemakzulan Gibran dan ijazah palsu Jokowi, meskipun problematik secara hukum, tetap perlu dipahami sebagai ekspresi keresahan politik yang valid. 

Menyelesaikannya bukan dengan kriminalisasi wacana, melainkan dengan memperkuat ruang publik deliberatif –baik melalui parlemen, media independen, maupun forum-forum masyarakat sipil. 

Maka, benar yang sudah dilakukan Presiden Prabowo dalam merespons isu tersebut, yaitu tidak menaruh curiga secara berlebihan dan tetap memberikan ruang komunikasi yang deliberatif dengan forum purnawirawan TNI tersebut. 

Hal itu menunjukkan bahwa elite negara belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa represi terhadap ekspresi politik justru bisa menjadi bahan bakar perlawanan yang lebih besar. 

Di dalam tradisi demokrasi deliberatif ala Habermas, ruang diskursif yang rasional dan terbuka adalah syarat bagi legitimasi politik yang tahan krisis. Bukan hanya kontrol atas narasi, melainkan juga kemampuan untuk menerima kritik sebagai bentuk cinta terhadap republik. 

Sembari demokrasi harus direvitalisasi pada etos etis dan moralitas publik ke dalam praktik politik. Pemerintah dan elite politik perlu membangun rekonsiliasi melalui pengakuan bahwa demokrasi akhir-akhir ini tidak sedang baik-baik saja. 

Maka, diperlukan kerja-kerja lebih keras untuk membangun kembali reformasi struktural terhadap lembaga-lembaga pemilu dan kehakiman yang independen. 

Juga, membuka partisipasi politik yang bermakna, yang bukan sekadar pesta suara lima tahunan. 

Warga juga perlu dilibatkan dalam agenda-agenda pengawasan dan perumusan kebijakan dan keterbukaan informasi dan transparansi institusional, bukan pengaburan, pembungkaman, atau pelabelan suara-suara alternatif sebagai musuh negara. (*)

*) Galang Geraldy adalah dosen ilmu politik, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dan mahasiswa S-3 ilmu sosial Universitas Airlangga.

Kategori :