Pemakzulan Wapres dan Kasus Ijazah Jokowi: Sebuah Psikologi Politik

Rabu 14-05-2025,04:33 WIB
Oleh: Galang Geraldy

Ketika sebagian rakyat percaya bahwa Pilpres 2024 telah ”dirusak” oleh putusan Mahkamah Konstitusi (terkait syarat usia capres/cawapres) dan menganggap keterpilihan Gibran sebagai hasil konspirasi konflik kepentingan elitis, wacana pemakzulan sekali lagi bukanlah hanya tentang hukum, melainkan simbol perlawanan atas ketidakadilan.

Usulan pemakzulan Gibran, yang mencuat pada April 2025 dan didorong oleh elemen masyarakat sipil, termasuk Forum Purnawirawan TNI, lahir dari situasi psikologis tersebut. 

Gibran menjadi persoalan bukan semata kualitas personal atau program kebijakan yang ia bawa, melainkan karena relasi genealogis –anak dari Presiden Joko Widodo –yang kemudian dihubungkan dengan dugaan intervensi kekuasaan (cawe-cawe) dalam proses konstitusional dan elektoral yang telah kita lalui bersama tahun lalu. 

BACA JUGA:Roy Suryo Dilaporkan ke Polisi Buntut Pertanyakan Keaslian Ijazah Jokowi

BACA JUGA:Jokowi Akan Laporkan 4 Orang ke Polisi Soal Tuduhan Ijazah Palsu

Tidak cukup sekali, tapi juga terkait Pilkada 2024, saat putra bungsunya –Kaesang Pangarep– tiba-tiba saja menjadi ketua umum PSI dan digadang-gadang masuk kontestasi pilkada melalui skenario perubahan regulasi terkait usia yang akan digedok di DPR, meski akhirnya dibatalkan oleh sejumlah aksi massa.

Norma di dalam pemilu sebagaimana yang disampaikan Robert Dahl (1971) mencakup keadilan prosedural dan akses setara terhadap kekuasaan. 

Maka, ketika prosedur konstitusional dimanipulasi untuk melayani kepentingan keluarga penguasa, kita sedang menyaksikan gejala oligarki dalam bentuk demokrasi elektoral yang dikendalikan elite. 

Hadiz dan Robison (2013) juga mengelaborasi fenomena dalam banyak negara pasca-otoriter seperti Indonesia, oligarki tidak menghilang, tetapi bertransformasi melalui institusi demokrasi. 

Publik kemudian membaca bahwa politik dinasti adalah manifestasi dari proses itu, keluarga politik membentuk jaringan kekuasaan yang mereproduksi dirinya sendiri melalui pemilu, hukum, dan demokrasi. 

Lalu, bagaimana demokrasi menyelesaikan‘”beban” traumatik psikologi politik tersebut ?

MENYEMBUHKAN DEMOKRASI

Elster (1993) dalam karyanya, Political Psychology, menyatakan bahwa fenomena ”trauma politik” atau collective trauma dapat terjadi ketika masyarakat merasa terancam oleh perubahan struktural atau keputusan politik yang tidak mereka setujui. 

Masyarakat merasa ”kehilangan kontrol” terhadap proses politik yang dianggap makin dikendalikan kekuatan-kekuatan tertentu, termasuk dinasti politik. 

Pengalaman politik, khususnya yang mengandung unsur pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokrasi seperti manipulasi hukum, penyalahgunaan kekuasaan, atau konflik kepentingan, dapat menciptakan trauma kolektif. 

Trauma itu tidak hanya membekas di ranah emosional masyarakat, tetapi juga merusak kepercayaan pada institusi. Demokrasi sebagai sistem politik tidak hanya harus prosedural, tetapi juga harus memberikan ruang pemulihan psikologis sebagai upaya untuk penyembuhan kolektif (healing space).

Kategori :