Matinya Hukum Lingkungan Hidup

Kamis 05-06-2025,12:36 WIB
Oleh: Wahyu Eka Styawan*

BACA JUGA:Mengenal Amara Shafa: Finalis Putri Lingkungan Hidup Surabaya Lewat Kreasi Masker

Kondisi serupa terjadi di Kecamatan Gumukmas, Jember, tepatnya di Desa Kepanjen dan Mayangan. Tambak udang yang menjamur di kawasan sempadan pantai jelas-jelas melanggar aturan tata ruang dan lingkungan. 

Anehnya, izin tetap keluar. Tak ada sanksi, tak ada tindakan. Padahal, tambak itu mencemari sungai, merusak pertanian, dan memaksa warga menanggung beban ganda: kehilangan sumber air bersih dan lahan produktif. 

Warga sudah melapor, bahkan melakukan protes dan audiensi. Pemerintah Kabupaten Jember hanya merespons dengan pengecekan dan audit lingkungan yang tak transparan dan tidak partisipatif. 

Sampai saat ini belum ada tindakan yang signifikan sehingga mematik warga melalukan aksi penyegelan karena sudah marah atas lambatnya Pemerintah Kabupaten Jember.

Masih banyak lagi kasus serupa: tambang ilegal di Mojokerto, Magetan, hingga Bojonegoro; pencemaran sungai di Pasuruan; hingga konversi kawasan pesisir menjadi tambak di Jember Selatan dan Madura Kepulauan. Semuanya menegaskan satu hal: pemberian izin begitu mudah, tanpa kehati-hatian. 

Instrumen hukum lingkungan seperti amdal, izin lingkungan, atau kajian daya dukung hanya jadi stempel formalitas. 

Padahal, jika merujuk UU PPLH, berbagai pasal seharusnya dapat digunakan untuk menindak pelanggaran tersebut. Pasal 6 menegaskan kewajiban setiap orang menjaga kelestarian lingkungan. Pasal 22 mensyaratkan amdal bagi kegiatan berdampak besar. 

Pasal 69 melarang pembuangan limbah sembarangan. Pasal 82A dan 82B menyediakan sanksi administratif. Bahkan, pasal 374 menjelaskan sanksi pidana untuk pencemar lingkungan. Tapi, semua itu seolah tak berlaku ketika berhadapan dengan kekuatan modal.

MENGAPA HUKUM LINGKUNGAN DIABAIKAN?

Kondisi di atas kemudian memunculkan pertanyaan penting: mengapa hukum lingkungan begitu mudah diabaikan?

Pertama, struktur birokrasi kita masih dipenuhi mentalitas ”izin dulu, urusan dampak belakangan”. Logika itu menguat pasca lahirnya UU Cipta Kerja, yakni penyederhanaan perizinan dianggap lebih penting daripada perlindungan lingkungan. 

Hukum yang seharusnya mencegah kerusakan malah dibengkokkan menjadi pelancar investasi. Pemerintah, alih-alih menjadi pelindung hak rakyat atas lingkungan sehat, justru berperan sebagai fasilitator korporasi.

Kedua, lemahnya penegakan hukum lingkungan tidak bisa dilepaskan dari rendahnya kapasitas, komitmen, dan independensi aparat penegak hukum serta lembaga pengawas. Ketika pelanggaran terjadi, proses pengawasan sering kali hanya formalitas –dilakukan tanpa transparansi dan tanpa partisipasi warga terdampak. 

Bahkan, dalam banyak kasus, laporan warga tidak pernah ditindaklanjuti, dan pelanggar dibiarkan bebas beroperasi. Itu adalah bentuk nyata pengabaian sistemik terhadap prinsip keadilan lingkungan.

Ketiga, pengabaian terhadap hukum lingkungan juga menunjukkan buruknya tata kelola pemerintahan. Keterbukaan informasi publik sangat minim. Proses penyusunan kebijakan tidak partisipatif. 

Kategori :