Bab tragedi ’98 –kalau ada– bakal menjadi titik perhatian. Kalau tidak ada bab atau subbab, tetap juga menimbulkan protes. Sekarang pun, yang diprotes itu tentang tragedi ’98.
Beda pendapat soal pemerkosaan massal sudah memicu pro-kontra. Kala Fadli Zon menyebut tak ada pemerkosaan massal, langsung memunculkan gelombang protes.
Penulisan sejarah mengingatkan di awal Orde Baru. Rezim Soeharto langsung membentuk tim yang dipimpin Profesor Nugroho Notosusanto, sejarawan Universitas Indonesia.
Karier Nugroho kian moncer. Setelah itu, menjadi rektor UI. Kemudian, dipercaya menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan.
Dari sejarah yang ditulis Nugroho dkk itu, kita mengetahui Soeharto adalah pahlawan dalam peristiwa menumpas upaya kudeta 1965. Generasi hingga sekarang mengetahui bahaya PKI dari penulisan itu.
Lewat karya Nugroho dkk juga kita mengetahui peran besar Soeharto saat peristiwa Serangan Oemoem 1949 di Yogyakarta. Peristiwa tersebut diangkat ke layar lebar dengan judul Janur Kuning. Dengan Soeharto dan Soedirman jadi tokoh utama.
Di era Jokowi, pemerintah menjadikan momen Serangan Oemoem 1 Maret 1949 sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Namun, dalam Keppres Nomor 2 Tahun 2022 yang diteken Presiden Jokowi itu, tak ada nama Soeharto, tokoh sentral di film Janur Kuning. Yang tercantum: Sri Sultan, Soekarno, Hatta, dan Jenderal Soedirman.
Jokowi juga sempat berkeinginan membuat ulang film sejarah: Penumpasan Pengkhianatan G-30-S/PKI. Padahal, film yang disutradarai Arifin C. Noer itu adalah tontonan wajib bagi seluruh rakyat. Tayangan wajib di TV setiap 30 September.
Kini kita tunggu karya penulisan ulang sejarah yang digagas Menteri Fadli. Tim penulis yang dipimpin Profesor Susanto Zuhdi, sejarawan Universitas Indonesia, ditargetkan rampung pada HUT RI tahun ini.
Apakah teori Michael Faucault, yakni sejarah untuk melegitimasi kekuasaan, akan terbukti?
Apa pun hasilnya, toh penguasa berikutnya, entah kapan, akan menulis ulang sejarah juga. Tentu dengan versinya. (*)