Mau tidak mau, saya laksanakan tugas. Grogi, pasti. Namun, harus maju. Atau goodbye.
BACA JUGA:Pesan Dahlan Iskan untuk ICCWA di Perth: Jangan Balik ke Indonesia!
BACA JUGA:Peserta Disway Business Adventure with Dahlan Iskan Vol.2 Siap Jelajahi Wuhan-Chongqing
Alamat pelaku saya dapat dari polisi. Di Surabaya Utara. Berangkat saya ke sana dengan motor Suzuki A100 tangki kates (pepaya).
Matahari di langit Surabaya tersenyum ceria. Panasnya menyengat kulit. Lalu lintas? Jangan tanya. Macet. Campuran antara mobil, bemo, motor, sepeda, becak, aneka gerobak ditarik orang. Tumplek di jalan raya.
Ketemulah rumah itu. Di anak gang. Ada gang sempit, masuk lagi ke gang yang lebih sempit. Sebuah rumah papan kayu sangat kecil. Cat hijau tua. Kusam. Rumah kosong. Pintunya terbuka, kosong.
Ketika saya masuk anak gang itu, warga mengamati saya. Ketat. Mereka, pelan-pelan, berkerumun. Beberapa pemuda mengikuti saya. Antusias. Ada yang tanya:
”Mas polisi, ya?”
”Bukan. Saya Djono, wartawan Jawa Pos.”
”Oh... sejak anaknya ditangkap kemarin, orang tuanya (tuan rumah) pindah, tadi pagi.”
”Pindah ke mana?”
Ia menoleh ke teman-teman di sekelilingnya. Lalu, di antara teman, muncul pemuda menyeruak maju.
”Kami tidak tahu. Kalau Sampean bukan polisi, jangan cari-cari masalah,” katanya, melotot.
Saya kaget dengan ancaman itu. Saya tidak siap. Lalu, saya jawab begini:
”Saya wartawan Republik Indonesia. Saya melaksanakan tugas negara ke sini. Bukan cari masalah.”
Ternyata mata pemuda itu meredup. Pelan-pelan. Gesturnya berubah, tidak lagi mengancam. Mungkin, karena tambahan kata-kata ”Republik Indonesia” itu, ia jadi redup.