Orang paling kubenci pada 1984 itu bernama Dahlan Iskan. Waktu itu saya wartawan Jawa Pos. Masuk per 1 Agustus 1984. Dahlan pemimpin redaksi Jawa Pos. Hampir semua penugasan jurnalistik darinya, bukan dari redaktur. Itu tidak struktural. Tugasnya pun kejam-kejam. Saya benci.
MASAK, di suatu kasus pembunuhan di Surabaya waktu itu, saya ditugasi wawancara mendalam dengan keluarga pelaku? Keluarga kan malu. Mereka pasti ngumpet (pikirku sebelum melaksanakannya).
Apalagi, Dahlan memberikan perincian tugas: pelaku (pria usia 24 tahun, baru saja ditahan polisi, motif dendam) harus dideskripsikan lengkap. Antara lain:
Kisah saat ia lahir dulu bagaimana? Menyusahkan ortu, tidak? Misalnya, apakah ia lahir sungsang atau normal? Ceritakan.
BACA JUGA:Jawa Pos Adalah Monster
BACA JUGA:Kuasa Hukum Bantah Dahlan Iskan Ditetapkan Tersangka oleh Polda Jatim
Semasa ia bayi bagaimana? Waktu balita bagaimana (di sini banyak pertanyaan detail). Apakah ia pernah dipukul anggota keluarga karena nakal, misalnya? Atau suka diejek, dihina, bertujuan memotivasinya?
Saat sekolah ia bagaimana? Saat remaja bagaimana? Saat dewasa bagaimana? Hari-hari sebelum ia membunuh, ceritanya bagaimana? Dan, jangan lupa: Teori 5W plus 1H di setiap detail segmen. Bukan cuma di keseluruhan cerita. ”Di tiap detail. Oke?” ujar Dahlan.
Saya manggut-manggut. Refleks, manggut-manggut. Pikirku: ”Ajur… iki.”
Hal itu sesungguhnya riset kriminologi. Saya memang sarjana (S-1) sosiologi, yang antara lain diajari kriminologi. Tapi, riset kriminologi dilaksanakan tim ahli. Berbulan-bulan. Bukan cuma saya sendirian. Dengan deadline hari itu juga pukul 17.00. Atau, sekitar enam jam kemudian.
BACA JUGA:Curhat Eri Cahyadi di HUT ke-5 Harian Disway: Pak Dahlan Iskan Guru Saya...
BACA JUGA:Sufmi Dasco-Raffi Ahmad Bertemu Dahlan Iskan di Kantor Disway, Ini yang Dibicarakan
Saya benci Dahlan. Aslinya, sebenarnya saya takut melaksanakan tugas itu. Bukan takut kepada keluarga pembunuh. Bukan. Saya, kan wartawan Republik Indonesia. Mesti berani. Melainkan, takut gagal.
Sebagai wartawan Jawa Pos yang baru masuk, saya sudah menyelidik, kalau gagal tugas, langsung goodbye. Tidak layak Jawa Pos. Sudah beberapa senior saya yang goodbye.
Yang senior sekali, tapi gagal dalam tugas, dibuang ke bidang yang tidak ia sukai. Supaya goodbye sendirinya.