Surabaya Global Mengakar

Selasa 22-07-2025,22:48 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf Ridho

Dari paradigma itulah seharusnya kita membangun strategi kebudayaan kota. Membangun nilai-nilai baru dan kebudayaan baru. Juga, rupa karya baru yang sesuai dengan perkembangan global tanpa harus menanggalkan akar lokalitas yang menjadi bagian dari perkembangan kota kita.

Misalnya, gagasan menghidupkan Jalan Tunjungan. Program yang berkembang sejak dua dekade lalu itu tidak semata untuk mengembalikan nostalgia akan mlaku-mlaku nang Tunjungan. Tetapi, sebagai respons akan kebutuhan ruang publik yang berupa city walk bagi kota yang tumbuh jadi destinasi wisata.

Ia dikembangkan sebagai alternatif ruang interaksi publik selain alun-alun –yang di Surabaya hanya ada Alun-Alun Contong– dan mal. Menjadi pilihan warga kota maupun pedagang untuk bisa bersapa di alam terbuka. Menjadi bagian dari ekosistem membangun ashabiyah –meminjam istilahnya Ibnu Khaldun– atau solidaritas sosial.

BACA JUGA:Surabaya Goes to Wellness and Medical Center Tourism

BACA JUGA:Surabaya, Kota Revolusi dan Jebakan Rutinitas

Berbagai event perkotaan seharusnya diselenggarakan bukan sekadar pertunjukan, Apalagi hura-hura. Semuanya harus dikonsep membangun ruang interaksi sosial dengan tujuan membangun solidaritas sosial. Dengan demikian, produk kesenian menjadi selalu bermakna sosial dan menyumbang nilai peradaban bagi kotanya.

Kita senang belakangan mulai berlangsung event kesenian berskala besar di Surabaya. Contohnya, Artsub, festival seni kontemporer yang memamerkan karya seniman terpilih dari berbagai kota. Yang tahun ini akan berlangsung untuk kali kedua setelah event pertama tahun lalu mencatatkan suksesnya.

Tapi, akan lebih baik kalau event itu ikut menggerakkan lahirnya karya-karya baru kesenian dari kota ini. Apa pun bentuknya. Dengan demikian, Surabaya tidak hanya menjadi semacam showroom atau galeri. Tapi, juga membangkitkan ekosistem baru kesenian dengan makin banyak aktor lokal yang terlibat.

Berbagai kegiatan baru kesenian perlu diikuti dengan tumbuhnya ekosistem intelektual dan kuratorial. Kita perlu ruang gagasan. Bukan sekadar ruang pertunjukan. Perlu disiapkan laboratorium ide, lembaga kurasi, dan festival pemikiran kebudayaan. Jadikan Surabaya tempat karya tak hanya dipamerkan, tapi juga dimaknakan.

Perlu ada kolaborasi yang saling menopang antara seniman, perguruan tinggi, dan dunia media. Sebagai pemroduksi karya, seniman perlu akademisi sebagai pemerkaya ide. Setelah karya jadi, perlu pendistribusi karya itu. Media dan kuratorial menjadi pendistrusi pesan dari sebuah karya.

Kedua, jadikan kota ini sebagai panggung. Bukan hanya terbatas pada ruang pertunjukan, galeri, dan gedung kesenian. Kita bisa menjadikan terminal lama, pelabuhan, pasar, dan gang sempit sebagai ruang berkesenian. Hidupkan kota dengan nyawa kesenian. di Yogyakarta, setiap sudut dan ruang telah menjadi ajang seni.

Saya dulu membayangkan, Plaza Balai Pemuda menjadi ruang simpul aktivitas seni publik. Ruang berkarya yang memungkinkan semua jenis dan kelompok kesenian berunjuk karya. Dengan tanpa memikirkan uang sewa, apalagi beban biaya alat-alat pertunjukan. Dikelola sebagai simpul kegiatan berbagai karya seni masyarakat.

Sudah cukup banyak kita membangun dan merenovasi gedung dan ruang pertunjukan. Kita semua senang dengan hal itu. Tapi, dalam kenyataannya, kita baru sebatas bisa membangun secara fisik. Kita belum bisa menghidupkan bangunan itu dengan kegiatan kreatif berkelanjutan. 

Ketiga, saatnya memperkuat koneksi seniman Surabaya dengan jejaring internasional. Peluang itu sebetulnya bukan sekadar mimpi dengan revolusi teknologi digital saat ini. Juga, buka ruang residensi dengan memanfaatkan sistercity maupun kunsulat negara-negara yang ada di kota ini.

Kesenian bisa menjadi bagian dari diplomasi kota. Kesenian bukan hanya urusan panggung. Ia adalah bagian dari branding kota, diplomasi antarbangsa, dan rekonsiliasi sosial. Melalui seni, kita membangun jembatan antargenerasi, antarkomunitas, bahkan antarbangsa. 

Bahwa seniman tak mungkin jalan sendiri dalam membangun ekosistem kesenian seperti itu, ya. Di mana pun juga, ada kewajiban pemerintah menyediakan sarana dan prasarana untuk ekosistem kesenian yang berkelanjutan. 

Kategori :