HARIAN DISWAY - Dulu, bekerja artinya duduk di kantor dari pagi sampai sore, lima hari dalam seminggu. Liburan? Itu urusan akhir pekan atau saat cuti tahunan.
Tapi sekarang, batas itu mulai kabur. Orang bisa bekerja dari manapun, bahkan sambil rebahan di hammock pinggir pantai. Inilah yang disebut dengan workcation, saudara dekat dari work-life integration.
Keduanya bukan lagi istilah asing, terutama bagi pekerja digital yang tak lagi terikat meja dan ruangan. Workcation menggabungkan kerja dan liburan, sementara work-life integration adalah gaya hidup yang menghapus garis tegas antara waktu kerja dan waktu pribadi.
Sekilas terlihat santai, tapi dua tren ini justru menuntut kedisiplinan dan tanggung jawab.
BACA JUGA:Tantangan Hybrid Working, Antara Kerja dan Kehidupan Pribadi
Dari Laptop ke Pantai
Dari Laptop ke Pantai--freepik.com
Bayangkan seseorang membuka laptopnya di balkon penginapan yang menghadap laut. Sambil mengetik laporan, ia bisa mendengar debur ombak dan merasakan angin tropis menyapu wajah.
Ini bukan skenario fiksi. Banyak orang kini melakukannya. Mereka bekerja sambil berpindah tempat, dari kota ke desa, dari gunung ke pantai.
Workcation bukan sekadar mencari suasana baru, tapi juga bentuk perlawanan terhadap rutinitas yang kaku. Ruang kerja tak lagi dibatasi dinding kantor. Bekerja bisa dari warung kopi, hotel, bahkan dari tenda camping.
BACA JUGA:Manajer: Kita Staycation, yuk…
Tak Lagi Butuh Jam 9 ke 5
Work-life integration melangkah lebih jauh. Ia menghapus jadwal kerja baku. Tak masalah jika pagi dipakai jogging atau antar anak sekolah, lalu baru bekerja siang hari.
Yang penting, pekerjaan selesai. Hidup dan kerja jadi satu alur yang saling menyatu, bukan dua dunia yang harus dipisahkan.
Namun, ini bukan berarti kerja terus-terusan. Justru sebaliknya, orang yang menjalani work-life integration dituntut untuk tahu kapan harus berhenti.
Kalau tidak, batasnya bisa kabur. Banyak yang awalnya menikmati fleksibilitas, tapi kemudian terjebak dalam ritme kerja tanpa jeda.
BACA JUGA:8 Cara Work Life Balance di Era Hybrid, Tetap Produktif Tanpa Burnout
Infrastruktur Mengikuti
Infrastruktur Mengikuti--freepik.com
Perubahan gaya kerja ini memicu penyesuaian di berbagai sektor. Hotel-hotel kini banyak yang menyediakan co-working space, koneksi internet cepat, dan paket inap jangka panjang.
Kota-kota wisata mulai menyesuaikan diri. Bali, misalnya, kini tak hanya dipenuhi turis, tapi juga digital nomad yang menetap berbulan-bulan.
Workcation bukan cuma tentang bekerja di tempat indah, tapi juga mencari ritme baru dalam bekerja. Orang merasa lebih segar, lebih fokus, dan lebih kreatif saat suasana berubah.
BACA JUGA:Mengatasi Tantangan Work-Life Balance di Era Digital dengan Solusi Efektif
Tidak untuk Semua
Meski terlihat menyenangkan, workcation dan work-life integration bukan untuk semua orang.
Ada profesi yang tetap harus hadir secara fisik, seperti tenaga medis, pekerja pabrik, atau layanan publik. Bagi mereka, konsep ini mungkin hanya angan-angan.
Tapi bagi yang bisa, gaya kerja seperti ini menawarkan sesuatu yang dulu tak terbayangkan, yaitu kebebasan.
Kebebasan memilih tempat kerja, waktu kerja, bahkan gaya hidup yang lebih selaras dengan kebutuhan pribadi.
BACA JUGA:Buat Mahasiswa yang Bosen Nugas di Kampus, Ini Lho Co-Working Space yang Cocok Jadi Alternatif
Disiplin adalah Kunci
Disiplin adalah Kunci--freepik.com
Yang sering dilupakan dari workcation dan work-life integration adalah tanggung jawab. Tak ada atasan yang memantau langsung. Tak ada rekan kerja di meja sebelah. Semua bergantung pada kendali diri.
BACA JUGA: Indonesia Business Outlook 2024, Bangun Networking dan Inspirasi Bisnis
Gagal mengatur waktu bisa berujung pada pekerjaan yang terbengkalai atau tubuh yang kelelahan karena tak tahu kapan harus berhenti. Maka, kunci utama dari gaya kerja fleksibel ini bukanlah tempat, tapi disiplin. (*)
*) Mahasiswa Magang Prodi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya