Dalam bukunya yang bertajuk Kebudayaan (Populer) di Sekitar Kita, Damono (2013) menyatakan bahwa kebudayaan massa memang meruntuhkan batas-batas kelas, tradisi, dan cita rasa. Namun, pada saat yang bersamaan menjelma dengan kekuatan dinamis serta revolusioner.
Kitsch dipahami sebagai selera buruk yang populer dan berlebihan. Menurut Nerdrum (dalam Bethae, 2011), berbagai pergolakan budaya yang dicap sebagai kitsch merupakan sebuah bentuk kepedulian yang membantu kita untuk menghadapi teror atas eksistensi.
BACA JUGA:Sound Horeg Dapat Hak Cipta, Begini Tanggapan Pemerintah
BACA JUGA:Parade Sound Horeg Jadi Sorotan Lagi, Terpaksa Bongkar Atap Warung Warga di Jember Supaya Bisa Lewat
Penikmat sound horeg dan alunan musik jedag-jedug tidak memerlukan interpretasi yang rumit dan memberikan kenyamanan emosional karena ada kelegaan dalam mendengarkannya.
Meski demikian, pertunjukan sound horeg tetap menyisakan guilty pleasure bagi sebagian penikmatnya. Terutama ketika proses menikmati sound horeg justru berbenturan dengan peraturan dan keteraturan sosial. Imbasnya juga pada gesekan di kalangan masyarakat.
TATA KELOLA DEMI KEPENTINGAN BERSAMA
Harus diakui bahwa pada praktiknya, pertunjukan sound horeg tidak sepenuhnya benar dan ideal. Kontestasi yang berlebihan seperti volume ekstrem dan waktu yang tidak tepat kerap mengganggu ketenteraman masyarakat lain.
Meskipun kitsch dalam konteks ini dimaknai secara positif, penerapannya tetap memerlukan penyesuaian dan pengelolaan berkelanjutan.
Menurut Darmawan dan Efendi (2024), kehadiran sound horeg dan musik jedag-jedug dipandang sebagai sarana untuk merangkul perkembangan global tanpa harus sepenuhnya meninggalkan identitas lokal.
Transformasi itu dipandang untuk memperkuat posisi desa di mata generasi muda untuk membangkitkan kembali minat mereka terhadap acara tradisional dalam kemasan yang lebih modern dan beradaptasi dengan selera masa kini.
Pelarangan total bukan jawaban, melainkan menjadi potensi problema baru di kalangan masyarakat.
Penelitian mengenai musik keras menunjukkan bahwa suara keras dapat menumbuhkan rasa kebersamaan, membentuk identitas kelompok, dan menjadi ruang pelarian psikologis.
Namun, volume ekstrem yang mencapai lebih dari 130 desibel dan dimainkan di dekat permukiman dapat mengganggu kesehatan, memicu konflik, dan memperkuat stigma ”kampungan”. Tata Kelola demi kepentingan bersama harus dipikirkan segera.
Solusi jangka pendek harus diterapkan melalui koordinasi antara pemerintah daerah, tokoh agama, dan komunitas sound horeg.
Pertama, aturan tentang waktu dan batas volume perlu disusun dalam peraturan desa atau perda, dengan musyawarah warga agar semua pihak merasa didengar.