Kedua, penetapan zona khusus untuk pertunjukan. Misalnya, lapangan desa atau aula komunitas. Itu akan mengurangi gangguan di permukiman.
Ketiga, pemerintah bersama komunitas dapat mengadakan pelatihan tata suara agar operator mampu menjaga kualitas audio tanpa menambah volume.
Keempat, edukasi kesehatan dan kampanye publik diperlukan untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya kebisingan bagi pendengaran.
Langkah-langkah itu bersifat pragmatis dan dapat dijalankan segera sambil mempersiapkan program jangka panjang. Tata kelola dan penegakan aturan adalah kuncinya. Penerapan sanksi ringan berupa peringatan atau denda juga dapat mendorong kepatuhan.
Selain itu, dokumentasi kegiatan di media sosial yang menonjolkan kearifan lokal dapat membantu mengubah stigma dan membuka ruang ide baru tanpa harus merugikan masyarakat.
Untuk jangka panjang, pengelolaan sound horeg harus terintegrasi dalam strategi kebudayaan dan pembangunan desa. Pemerintah dapat menginstitusikan festival resmi atau karnaval tahunan yang menampilkan sound horeg sebagai daya tarik utama, sekaligus menyeleksi karya dan inovasi dari para kreator.
Suara keras tanpa irama tertata hanya berhenti sebagai bunyi, bukan musik. Riset tentang festival menunjukkan bahwa partisipasi dalam acara budaya yang dikelola baik meningkatkan rasa memiliki dan kesejahteraan.
Selain itu, pembangunan ruang kreatif seperti studio komunitas, pusat seni, dan ruang konser kecil di desa atau kota kecamatan akan menyediakan fasilitas bagi pemuda untuk berekspresi tanpa mengganggu lingkungan.
Pelatihan produksi audio digital dan kewirausahaan dapat menumbuhkan industri kreatif lokal, menciptakan lapangan kerja, dan meredakan stigma negatif. Yang mendesak tentu saja di tingkat nasional.
Perlu dirumuskan standar tentang kebisingan untuk acara rakyat agar perizinan, batas desibel, dan panduan teknis menjadi jelas.
Negeri ini sudah punya banyak pengalaman betapa hasrat dengan suara keras sering berujung pada kekerasan. Pendekatan holistik itu membutuhkan komitmen berkelanjutan.
Pada akhirnya, suara-suara yang diarahkan tersebut akan menjadi energi, tetapi, apabila dilarang, hanya akan menjadi letupan yang tidak terkendali. (*)
*) Kamilah Sa’diyah adalah asisten peneliti di Departemen Komunikasi, FISIP, Universitas Airlangga.
*) IGAK Satrya Wibawa adalah pengajar Departemen Komunikasi, FISIP, Universitas Airlangga.