Pajak Mencekik Picu Pemberontakan

Sabtu 16-08-2025,14:19 WIB
Reporter : Dhimam Abror Djuraid
Editor : Yusuf Ridho

Seorang penjahat yang menodongkan senjata dan meminta sejumlah uang sama saja dengan petugas pajak yang memaksa wajib pajak untuk membayar. Namun, penodongan oleh petugas pajak itu sah secara hukum karena didasarkan undang-undang.

Pajak adalah inti demokrasi. Pembayar pajak mendapatkan posisi terhormat dalam tatanan masyarakat demokratis. Uang pembayar pajak atau taxpayers’ money adalah uang sakral yang tidak boleh dikelola seenaknya.

Di negara-negara demokrasi yang sudah maju, taxpayers’ money menjadi mantra yang paling dihormati dan sekaligus ditakuti. Rakyat tidak akan mau membayar pajak kalau tidak ada demokrasi yang memberikan kesejahteraan dan kemakmuran. 

BACA JUGA:Penerapan Pajak Karbon, Siapa Yang Untung?

BACA JUGA:Perencanaan Pajak, Upaya Cerdik atau Bodoh

Di Indonesia uang hasil memeras pajak dari rakyat disebut sebagai ”uang negara”. Mereka yang menggarong dan mengorupsi uang perasan rakyat itu tidak merasa bersalah karena merasa dirinya bagian dari negara. 

Para kepala pemerintahan, politisi, dan anggota parlemen dengan bangga menyebut dirinya sebagai ”abdi negara”. Mereka mengabdi kepada negara, dan karena itu, boleh menjarah uang negara. 

Sejarah Indonesia sudah mengajarkan bahwa pajak yang mencekik rakyat menjadi sumber pemberontakan. Perang Jawa yang terjadi pada 1825 sampai 1830 adalah perang terbesar yang pernah terjadi di Nusantara, dan pemicu utamanya adalah pajak.

BACA JUGA:Menggenjot Pajak lewat Zakat

BACA JUGA:Viral! Pengusaha Keluhkan Rencana Pemkot Surabaya Pasang CCTV di Tempat-Tempat Usaha untuk Kepatuhan Pajak

Sejarawan Peter Carrey menulis sejarah perang Jawa dengan detail dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785–1855. Penerapan pajak yang brutal dan korupsi yang merajalela mejadi pemicu Diponegoro untuk memberontak.

Pangeran Diponegoro melawan kezaliman Belanda dan penguasa keraton Jawa yang keterlaluan. Pajak ditarik secara semena-mena, dan pada saat bersamaan, korupsi dan penyelewengan merajalela.

Belanda menyogok para penguasa Jawa dengan uang hasil pajak. Para penguasa keraton Jawa berfoya-foya dengan harta, wanita, dan candu. Penjajah Belanda menjajah keraton Jawa dan menghancurkan kehormatan serta kesakralan keraton itu.

Belanda menugaskan pengusaha China menjadi penarik pajak. Gerbang-gerbang pajak didirikan di setiap sudut kota dan desa. Seorang petani yang mengangkut hasil panennya dari sawah ke pasar kota akan dikenai belasan pajak. 

Keluar dari area pertanian kena pajak, keluar dari desa kena pajak, masuk wilayah desa lain kena pajak. Begitu terus-menerus sampai masuk ke pasar kota. 

Bukannya dapat untung, para petani bangkrut. Harga-harga naik mencekik. Para penguasa dan pangeran Jawa berfoya-foya, mabuk-mabukan setiap hari. 

Kategori :