Salah satu solusi yang realistis adalah memberikan pengecualian bagi usaha mikro. Dalam konteks hukum bisnis di Indonesia, usaha mikro adalah usaha dengan omzet tahunan maksimal Rp 300 juta dan jumlah tenaga kerja di bawah lima orang.
Mengapa mereka perlu dikecualikan? Sebab, pada skala itu, musik yang diputar biasanya bukanlah komponen utama yang mendatangkan keuntungan besar. Musik di warung kopi pinggir jalan atau toko kelontong kecil lebih sering berfungsi sebagai hiburan pemilik atau penghilang sepi, bukan sebagai strategi pemasaran.
Pengecualian itu tidak berarti melemahkan perlindungan hak cipta. Justru sebaliknya, dengan membebaskan usaha mikro dari kewajiban royalti, fokus penarikan bisa diarahkan ke pelaku usaha menengah dan besar yang memang memiliki kapasitas finansial serta memanfaatkan musik secara nyata untuk menunjang keuntungan bisnis mereka.
BACA JUGA:Lagu Indonesia Raya Tak Kena Royalti, Masuk Domain Publik
BACA JUGA:Takut Kena Royalti, PO SAN Tidak Lagi Putar Lagu di Bus
Dengan begitu, upaya perlindungan hak cipta menjadi lebih tepat sasaran dan tidak menimbulkan resistansi berlebihan dari masyarakat kecil.
Contoh nyata bisa dilihat di beberapa negara lain. Di Inggris, Performing Right Society (PRS) menetapkan tarif royalti berdasar kapasitas tempat dan skala bisnis, dengan pembebasan untuk usaha yang sangat kecil atau hanya memutar musik dalam konteks nonkomersial.
Di Australia, APRA AMCOS memiliki tarif khusus yang sangat rendah untuk usaha dengan kapasitas di bawah 20 orang. Kebijakan seperti itu mengakui fakta bahwa satu aturan tidak bisa diterapkan secara sama persis kepada semua skala usaha.
BACA JUGA:Istana Libatkan Semua Pihak Cari Jalan Tengah Isu Royalti Lagu
BACA JUGA:Protes Sistem Royalti, Tompi Tinggalkan WAMI dan Gratiskan Lagu untuk Semua Panggung
Selain soal pengecualian, ada baiknya juga diatur mekanisme tarif progresif. Usaha yang lebih besar dan lebih banyak memanfaatkan musik untuk menarik pengunjung membayar lebih besar, sementara yang lebih kecil membayar lebih kecil atau bahkan nol.
Prinsipnya, siapa yang lebih banyak mengambil manfaat komersial, merekalah yang lebih besar kontribusinya kepada pencipta lagu.
Aspek edukasi dan sosialisasi juga tidak kalah penting. Banyak pelaku usaha, terutama di daerah, belum memahami konsep hak cipta dan royalti. Bagi sebagian orang, memutar musik dianggap hal wajar yang bebas dilakukan.
Perubahan paradigma itu perlu dibangun secara perlahan, melalui sosialisasi yang konsisten dan bahasa yang membumi. Jika masyarakat memahami bahwa royalti adalah ”uang terima kasih” kepada pencipta, resistansi akan jauh berkurang.
Pada akhirnya, tujuan perlindungan tersebut tetaplah sama, yaitu melindungi hak dan kesejahteraan pencipta lagu tanpa mengorbankan keberlangsungan pelaku usaha kecil. Musik adalah karya seni yang patut dihargai, tapi di saat yang sama, aturan hukum harus disusun dengan memperhatikan proporsi dan keadilan.
Pemerintah, LMKN, dan LMK perlu duduk bersama dengan asosiasi pelaku usaha untuk membahas batasan jelas mengenai penggunaan komersial. Perlu dibuat garis pemisah yang tegas, misalnya, berdasar omzet, luas tempat, atau kapasitas pengunjung.