Krisis kepercayaan itu bukan sekadar soal citra, melainkan menyentuh fondasi demokrasi perwakilan. Demokrasi hidup karena adanya keyakinan rakyat bahwa aspirasinya bisa diartikulasikan wakil yang duduk di parlemen.
Ketika keyakinan itu terkikis, publik akan mencari saluran alternatif di luar parlemen untuk menyampaikan aspirasinya.
Situasi politik tersebut menandakan kegagalan dimensi responsiveness, yakni kemampuan wakil untuk mendengar dan merespons suara rakyat dengan cara yang konstruktif (Mansbridge, 2003).
Hal itu berpotensi melahirkan ketegangan politik dan delegitimasi terhadap institusi demokrasi itu sendiri (Hay, 2007).
Fenomena tersebut selaras dengan temuan Pippa Norris (2011) tentang democratic deficit atau krisis representasi dalam demokrasi modern. Demokrasi perwakilan bertumpu pada keyakinan bahwa rakyat bisa memercayakan kedaulatannya kepada wakil yang bertanggung jawab.
Jika lembaga perwakilan gagal memenuhi ekspektasi publik, yang muncul adalah frustrasi warga negara, apatisme politik, bahkan delegitimasi institusional. Wacana pembubaran DPR yang mencuat di media sosial, meskipun terdengar ekstrem, sesungguhnya merupakan ekspresi ketidakpercayaan publik yang makin meluas.
MERUWAT DPR
Rakyat tentu berhak mengkritik, bahkan marah, karena DPR adalah lembaga representatif. Kritik keras masyarakat seharusnya dijadikan alarm peringatan, bukan justru dilawan dengan arogansi.
DPR perlu merefleksikan kembali peran mereka: apakah hadir sebagai representasi substantif rakyat atau terus-menerus sekadar menikmati privilese simbolis dari status elite politik? Pertanyaan itu penting karena menyangkut legitimasi demokrasi itu sendiri.
Ke depan DPR harus belajar menata ulang cara mereka berkomunikasi dan bertindak. Representasi politik bukan hanya tentang produk undang-undang, melainkan juga tentang gestur, simbol, dan bahasa yang mencerminkan keterhubungan dengan rakyat.
Anggota DPR perlu menyadari bahwa setiap ucapan, gerak tubuh, dan pernyataan mereka di ruang publik adalah bagian dari representasi politik yang membangun atau meruntuhkan kepercayaan.
Jika tidak, krisis representasi akan makin dalam dan publik akan mencari saluran alternatif di luar parlemen untuk menyuarakan kepentingannya.
Kontroversi akhir-akhir ini mengajarkan satu hal penting: representasi politik bukan sekadar soal duduk di kursi DPR, melainkan juga soal bagaimana rakyat benar-benar merasa diwakili.
Pada titik itu, DPR sedang menghadapi krisis serius yang hanya bisa dipulihkan dengan kesungguhan, kepekaan, dan etika politik yang lebih tinggi.
Maka, meminjam istilah ruwat dalam tradisi Jawa, DPR perlu membersihkan diri dari energi buruk dan ”kotoran politik” –perilaku elitis, jauh dari aspirasi rakyat, serta sikap tidak pantas yang mengoyak wibawa demokrasi guna mengembalikan harmoni, keluhuran, moral etis, dan substansi kerja-kerja politik untuk rakyat.
Meruwat DPR berarti mengembalikan kesadaran bahwa kursi parlemen bukanlah arena narsisme kekuasaan, melainkan amanah yang sarat tanggung jawab. (*)