Kampung Kemuteran, Pusat Home Industry Songkok di Kota Gresik

Kamis 28-08-2025,19:00 WIB
Reporter : Dave Yehosua
Editor : Taufiqur Rahman

Dari keresahan itulah ia memilih melanjutkan jejak orang tuanya sebagai pengerajin songkok. Keputusan itu terbukti tepat. Selama empat dekade, Sidiq mampu menghidupi keluarganya dengan layak. Bahkan ketiga anaknya berhasil ia sekolahkan hingga bangku kuliah. Konsistensi dan keterampilan tangannya membuka jalan bagi keluarganya untuk hidup lebih baik. Cerita Sidiq hanyalah satu dari sekian banyak kisah serupa di Kampung Songkok Kemuteran.

Rombongan kami lantas berhenti di rumah Mustari. Ruang tamunya sudah beralih fungsi menjadi ruang kerja dengan satu buah mesin jahit. Mustari, pria berusia 40 tahun itu sedang menyatukan kain bulat dan kain panjang hasil potongan sebelumnya. 


Pengrajin Songkok Mustari tengah membentuk badan Songkok sebelum dilapisi kain beludru hitam di bengkel kerjanya di Kelurahan Kemuteran Kota Gresik -Moch Syahirol Layeli/Harian Disway -

“Proses ini kelihatannya gampang, tapi wajib presisi,” ucapnya sambil mengarahkan jarum mesin jahit. Ia menjelaskan bahwa selisih dua milimeter saja bisa merusak kerapian songkok. 

Keterampilan itu ia pelajari setelah menikahi Nur Fuadah, perempuan asli Kemuteran. Awalnya Mustari adalah buruh pabrik pada tahun 2010. Atas permintaan mertuanya, Mustari ikut belajar membuat songkok. 

BACA JUGA:Irfan Akbar Prawiro, Sukses Bawa Gresik Movie Menembus Cannes di Prancis

“Awalnya sangat sulit, saya butuh waktu setahun untuk bisa membuat songkok yang benar-benar bagus,” kenangnya. Kini, ia memilih meninggalkan pekerjaan pabrik dan sepenuhnya fokus menjadi pengerajin songkok. Baginya, pekerjaan ini jauh lebih menjanjikan.

Proses pun berlanjut ke tahap akhir. Istri Mustari, Nur Fuadah—akrab disapa Ida—mengambil songkok yang hampir jadi. Tahap penyelesaian itu disebut ngesum, yakni menjahit sisi bawah songkok agar rapi dan kuat. 

Ida dibantu tetangganya, Luthfia yang duduk berdampingan menyelesaikan puluhan songkok dalam sehari. Jemari mereka cekatan menusukkan jarum, dibantu alat sederhana bernama chimchim. Yakni semacam cincin tebal yang melindungi jari dari tusukan jarum. “Gunanya agar jari tidak sakit saat menjahit bagian ujung songkok yang tebal,” jelas Ida.

Kecepatan mereka mengagumkan. Luthfia bahkan mengaku bisa menyelesaikan seratus songkok dalam sehari. Tidak heran bila produksi songkok dari Kemuteran sangat masif. Apalagi, sekitar 40 keluarga di lingkungan ini menekuni usaha serupa, masing-masing dengan merek dagang sendiri. 

Dari rumah-rumah sederhana inilah lahir ribuan songkok setiap bulan, mengalir ke pasar-pasar di berbagai daerah.

Meski demikian, Rizal dan Jayadi menyadari ada tantangan besar yang masih dihadapi. “Kami sangat kurang dalam promosi. Marketingnya masih lemah, jadi penjualannya belum maksimal,” ujar Rizal. 

Padahal, potensi Kampung Songkok ini sangat besar. Beberapa merek bahkan telah menembus pasar internasional, hingga ke Brunei dan Malaysia. Sayangnya, jumlahnya masih terbatas.

Meski demikian, geliat industri songkok di Gang XV Kemuteran tetap berlanjut. Deru mesin jahit berpadu dengan suara obrolan ibu-ibu yang ngesumSongkok-songkok dari Kemuteran bukan hanya produk, tetapi juga cermin ketekunan, warisan budaya, dan simbol perjuangan hidup warga Gresik, bumi para Wali.(Dave Yehosua)

 

Kategori :