Babad Korupsi Nusantara

Kamis 04-09-2025,22:17 WIB
Oleh: Eko Ernada*

Dalam kacamata etika teologis, korupsi adalah dosa sosial. Ia mencederai amanah, merugikan banyak orang, dan merusak keadilan. Tetapi, di panggung politik Nusantara, simbol-simbol iman kerap dijadikan ornamen, bukan landasan moral. Satirenya, doa bisa bergema dalam acara seremonial yang dibiayai dari anggaran yang disunat.

Religiusitas, jika hanya sebatas ritual, gagal menjadi benteng moral. Pertanyaan kritis pun muncul: apakah agama benar-benar dijadikan panduan etika publik, atau hanya kostum panggung untuk menutupi kerakusan? 

Dengan tawa getir, masyarakat melihat kontradiksi itu. Seorang pejabat berpidato dengan kutipan ayat suci di siang hari, tetapi saat malam lihai mengatur jalur suap melalui celah regulasi. Kostum integritas bisa dipakai dan dilepas semudah mengganti seragam dinas.

Korupsi di era modern bahkan lebih lihai. Ia tidak lagi tampil sebagai pungli kasar, tetapi menyaru melalui mekanisme canggih. 

Digitalisasi anggaran, yang digadang-gadang sebagai penjamin transparansi, bisa dimanipulasi mereka yang menguasai sistem. E-budgeting, e-katalog, hingga tender online dapat dipermainkan dengan algoritma rente. 

”Reformasi birokrasi” akhirnya terdengar seperti mantra kosong yang terus diulang. Ironi makin kentara ketika para aktor utamanya tampil religius di depan publik: melafalkan doa, menekankan nilai moral, tetapi cekatan menyembunyikan jejak transaksi di balik regulasi hukum.

Mengapa siklus itu terus berulang? Pertama, karena pengawasan lemah, hukum lebih sering jadi slogan daripada pedang. 

Kedua, budaya politik permisif, yakni masyarakat terbiasa memaklumi ”uang pelicin” sebagai hal wajar. 

Ketiga, rendahnya kesadaran moral, tidak hanya di kalangan pejabat, tetapi juga rakyat yang sering pragmatis. 

Keempat, sistem politik yang memberi insentif bagi perilaku koruptif: biaya politik tinggi mendorong pejabat mencari balik modal melalui rente. Akibatnya, meski KPK menangkap banyak pejabat, itu ibarat mencabut satu batang alang-alang dalam hutan –akar dan rumpunnya tetap tumbuh.

Korupsi, dengan demikian, bukan hanya masalah administratif, melainkan refleksi moral dan spiritual bangsa. Ia menyingkap paradoks manusia: kecerdikan yang seharusnya membangun justru digunakan untuk merusak. 

Kritik satire menjadi penting karena ia menertawakan absurditas ini sambil memperlihatkan kebenaran pahit. Dalam babad Nusantara, tiap bab bukan hanya berisi heroisme pembangunan, melainkan juga kisah ambisi bengkok, keserakahan kreatif, dan inovasi moral yang menyimpang.

Babad korupsi Nusantara memang belum selesai. Setiap generasi menulis bab baru dan pola ceritanya tetap sama: moralitas kalah oleh ambisi, kepentingan pribadi lebih penting daripada kepentingan kolektif. Namun, bab tersebut tidak harus berulang tanpa akhir. 

Reformasi menyeluruh dibutuhkan –hukum yang benar-benar tegak, politik yang menyingkirkan patronase, birokrasi yang sederhana dan transparan, serta religiusitas yang diterjemahkan menjadi etika publik, bukan sekadar simbol. 

Masa depan bebas korupsi hanya bisa terwujud jika integritas lebih bernilai daripada keuntungan sesaat dan doa bukan lagi jubah penutup kerakusan, melainkan landasan tindakan nyata. 

Tanpa itu, babad ini akan terus ditulis dengan tinta satire, pahit, dan penuh ironi –sejarah yang mencatat bangsa besar dengan moralitas yang terus digerogoti. (*)

Kategori :