Noel pun ibarat tokoh wayang yang tumbang di medan perang: jasadnya tidak sekadar kehilangan nyawa politik, tetapi juga diperebutkan tafsir oleh berbagai kepentingan.
Operasi tangkap tangan KPK menyingkap wajah lain dari drama itu. Noel ditangkap bersama sepuluh orang lain, diduga menerima suap terkait pengurusan sertifikasi keselamatan dan kesehatan kerja.
Barang bukti yang disita bukan hanya uang tunai, melainkan juga mobil mewah dan sebuah Ducati –ikon hedonisme yang kontras dengan narasi pengabdian kepada pekerja. Ironinya begitu telanjang: jabatan yang semestinya menjaga keselamatan buruh justru diperdagangkan dalam bentuk rente.
BACA JUGA:Ramadan, Momentum untuk Melawan Darurat Korupsi
BACA JUGA:Mencermati Vonis Ringan Hukuman Korupsi Timah, Dibutuhkan Hakim 'Gila' untuk Kasus Korupsi
Bagi publik, peristiwa itu terasa seperti menonton sandiwara yang sudah berkali-kali dipentaskan: pejabat jatuh, layar berita penuh sorotan kamera, opini publik bergejolak, lalu semuanya kembali ke pola lama.
Sistem tetap utuh, aktor baru naik panggung, dan babad korupsi pun kembali ditulis dengan skenario sama, hanya nama berbeda.
Dari sudut pandang teori politik, itu tidak mengejutkan. Machiavelli sudah lama memperingatkan bahwa kekuasaan yang tak terkendali akan mencari celah untuk menguatkan diri meski harus mengorbankan moralitas.
BACA JUGA:Tersangka Korupsi Jalan Tertatih
BACA JUGA:Pilkada Serentak dan Pemberantasan Korupsi
Weber menambahkan, birokrasi modern justru dapat menjadi ladang subur oportunisme: aturan yang rumit menciptakan ruang abu-abu, tempat korupsi tumbuh aman. Di Indonesia, kombinasi patronase, warisan kolonial, dan demokrasi transaksional menghasilkan ekosistem yang subur.
Korupsi di sini bukan hanya ”oknum”, melainkan juga jaringan sosial-politik yang saling menopang, ibarat hutan rimba tempat hewan berbeda spesies hidup dari pohon yang sama.
Yang membuat ironi makin pekat adalah tingkat religiusitas bangsa Indonesia. Mayoritas rakyatnya dikenal taat beragama, menjadikan ritual dan nilai religius sebagai bagian penting identitas.
BACA JUGA:Korupsi sebagai Problem Budaya
BACA JUGA:Mengapa Korupsi Marak?
Namun, paradoks segera tampak: kesalehan individual tidak serta merta terjemahkan menjadi integritas publik. OTT terhadap pejabat yang gemar menampilkan kesan moral di ruang publik menunjukkan simbol religiusitas sering hanya berhenti pada permukaan.