Lebih menyakitkan lagi, DPR yang semestinya menjadi wakil rakyat justru kerap tampil sebagai wakil dirinya sendiri. Tunjangan dinaikkan, fasilitas diperluas, sementara ruang dialog dengan rakyat makin menyempit.
Rasanya ironis: rakyat harus antre berjam-jam demi minyak goreng murah, sedangkan di Senayan para wakilnya sibuk menambah jatah mobil dinas.
Demo-demo yang kita saksikan bukan semata-mata soal kebijakan. Ia adalah cermin dari jurang yang makin lebar antara penguasa dan rakyat.
BACA JUGA:Laporan Polisi (LP) Palsu Sampai ke DPR
BACA JUGA:DPR Desak Budi Arie Setiadi Diperiksa
Cermin bahwa rakyat mulai kehilangan kepercayaan pada wakilnya. Cermin bahwa kita sedang mengalami krisis akhlak dalam kepemimpinan.
Kalau ditarik ke belakang, sejarah Indonesia pun mengajarkan hal serupa. Soeharto jatuh bukan hanya karena krisis ekonomi, melainkan juga karena krisis legitimasi moral.
Rakyat merasa dipermainkan, lalu memilih jalan lain: reformasi. Kini gejala itu mulai terasa lagi.
BACA JUGA:Bandar dan Bohir di DPR
BACA JUGA:Bom Waktu Demografi, DPR Dorong Tambahan Anggaran Alat Kontrasepsi
Sudah saatnya para pemimpin –khususnya DPR– berhenti bersilat lidah dengan narasi yang menyakitkan. Yang dibutuhkan rakyat bukanlah kata-kata yang menggurui, melainkan kebijakan yang menyejukkan. Bukan tunjangan yang membengkak, melainkan akhlak yang kembali ditumbuhkan.
Dan percayalah, rakyat bisa memaafkan kesalahan teknis seorang pemimpin. Tetapi, rakyat jarang bisa memaafkan pengkhianatan moral. (*)
*) Ulul Albab adalah ketua ICMI Jawa Timur--