BACA JUGA:Demokrasi Inklusif Pasca Penghapusan Presidential Threshold
BACA JUGA:Menteri Bukan Hanya Pembantu Presiden
Literatur manajemen krisis menyebutnya ”information distortion”. Informasi yang ditahan atau dipoles akan melahirkan keputusan keliru. Paulus dkk (2022) menulis, bias informasi dalam manajemen krisis membuat pimpinan mengambil keputusan berdasar fatamorgana, bukan fakta.
Bahkan, ada penelitian mutakhir tentang kepemimpinan etis. Dwinanda (2025) menekankan, transparansi adalah oksigen bagi kepemimpinan di masa krisis. Tanpa oksigen, pemimpin megap-megap, bahkan bisa tumbang sebelum lawannya datang.
***
Pertanyaan besar pun muncul, siapa yang menahan informasi itu? Mengapa laporan malam ke istana masih menyebut ”aman terkendali”?
BACA JUGA:Selamat Bekerja, Presiden Prabowo!
BACA JUGA:Upacara HUT Kemerdekaan Para Mantan Presiden Indonesia
Apakah ada ”penyaring informasi” di tengah jalan? Atau memang sistem kita yang terlalu birokratis sehingga fakta berdarah di lapangan harus melewati banyak meja sebelum sampai ke meja presiden?
Kalau benar demikian, ini bukan sekadar salah orang. Ini salah sistem.
***
Yang lebih menakutkan lagi, muncul wacana darurat militer. Saya bisa paham, logika ”darurat militer” memang cepat dan instan. Semua di bawah komando. Semua tunduk pada satu suara. Tidak ada debat, tidak ada protes.
Namun, jangan lupa, obat instan sering punya efek samping lebih berbahaya. Krisis politik tidak bisa selalu dijawab dengan cara menambah barikade dan tank. Sejarah sudah mencatat: darurat militer sering lebih mematikan demokrasi ketimbang meredakan konflik.
Komunikasi krisis punya teori menarik: SCCT (situational crisis communication theory). Intinya, pemimpin harus memilih respons sesuai konteks.
Kalau krisisnya karena kesalahan sistem, yang dibutuhkan adalah transparansi dan perbaikan, bukan represi. Kalau krisisnya karena rumor, yang dibutuhkan adalah komunikasi cepat dan jujur.
Sayangnya, yang sering kita pilih justru resep terbalik: saat butuh transparansi, kita tutup rapat. Saat butuh komunikasi, kita keluarkan gas air mata.